3

585 28 0
                                    

Objek pertama adalah Klenteng Sam Poo Kong. Rombongan duduk melingkar untuk diskusi.

Selagi pemateri menjelaskan sejarah Sam Poo Kong, hubungannya dengan Laksamana Cheng Ho, dan penyebaran Tionghoa di Semarang, yang ingin Haikal ketahui hanya seluk-beluk tentang Dek Mei seorang.

"Kamu ada keturunan Cina ya?"

"Iya. Nenek Mei itu cucu dari cucunya anaknya Cheng Ho."

"Serius?"

"Serius. Serius bercandanya. Hahahaha."

"Lah."

"Eh tapi serius, Nenek Mei orang Cina. Dulu tinggalnya di Pecinan. Setelah nikah sama Kakek yang orang Banjar, jadi pindah tinggal di Kampung Melayu. Sampek sekarang masih di sana."

Kampung Melayu adalah kampung multi-etnis tempat berbagai budaya berbaur dalam kehidupan sosial masyarakat yang beragam. Ada Cina, Banjar, dan Arab. Ada masjid dan kelenteng. Ada toleransi antar-umat sebagai wujud kebinekaan.

Yang paling penting, Nenek dan Kakek Mei tinggal di sana.

Lawatan berlanjut.

"Habis ini kemana, Dek?" tanya Haikal. Untuk basa-basi. Padahal dia sudah tahu.

"Masjid Agung Kauman, Mas. Ishoma dulu, habis itu keliling-keliling Kampung Kauman. Ngapelin Koko-koko Arab."

"Weeeh..."

"Hahahaha. Kamu ada keturunan Arab ya, Mas?"

"Enggak. Keturunan orang ganteng aku sih."

"Subhanallah..."

Dahulu, Kampung Kauman dihuni oleh para santri Ki Ageng Pandan Arang. Masjid Agung Kauman dan Mushola Kanjengan merupakan identitas kawasan yang masih berdiri kokoh hingga saat ini.

"Nih, Mas.. Berdasarkan peta tahun 1965, Ki Ageng Pandan Arang II pernah membangun pendopo. Terus, di sekitar pendopo itu ada pemukiman para abdi dalem. Nah di situlah awal mula Kota Semarang berada," jelas guide Mei singkat.

"Oh iya. Di buku Semarang Tempo Dulu, Wijanarka juga bilang kalau embrio perkembangan arsitektur khas Semarang itu bermula di Kauman," guide Haikal tak mau kalah.

Bagi keduanya, ini bukan kali pertama berkunjung ke Kauman. Sudah terlalu sering. Tak bisa dihitung dengan jari.
Tapi ini kali pertama keduanya begitu semangat berjalan-jalan menyusuri lapak pedagang tradisional, saling bertukar pengetahuan tentang sejarah sambil sesekali bersendagurau.

"Kamu ambil jurusan sejarah kenapa, Dek?"

"Kenapa yaa?

Mungkin dari pas masih SMP, saya tuh penasaran, kenapa sih penjelasan mengenai Belanda selalu mengarah ke hal-hal yang negatif? Soalnya saya percaya kalau segala sesuatu itu punya kelebihan dan kekurangan, ada sisi negatif dan positif. Jadi saya penasaran. Terus jadi suka baca. Eh malah kecanduan buku-buku sejarah."

"Oh gitu. Jadi sekarang sudah tahu, apa dampak positif Belanda di Indonesia?"

"Yaa lumayan."

"Apa saja?"

"Banyak. Nih yaa.. Dari VOC perdagangan Nusantara bisa dikenal dunia. Dari Deandles, sekarang kita punya jalan Anyer-Panarukan. Dari Tanam Paksa dapat pengetahuan tentang pertanian dan perkebunan yang luar biasa. Dan yang paling Mei suka, arsitektur bangunan dan tata kotanya.

Eh ini bukan berarti Mei merendahkan pengetahuan dan budaya asli Indonesia loh. Yang paling kece buat Mei tetap bangsa Indonesia."

"Mantap!"

Menjelang sore rombongan menuju objek terakhir, Kota Lama.

Saat melintas di kawasan Tugu Muda, Mei bertanya, "Mas tahu nggak, kenapa Lawang Sewu dibikin banyak jendelanya?"

"Soalnya Indonesia panas. Orang Belanda suka kegerahan."

"Sok tahu."

"Lah terus kenapa emang?"

"Nggak tahu. Kan Mei nggak ikut bikin. Belum lahir. Hahahah."

Tugu Muda menjadi saksi bahwa hari ini, untuk kali pertama, seorang Haikal melintas dengan vespa tuanya, dengan seorang perempuan diboncengnya, dengan senyum sumringah yang tak hilang-hilang, dengan ucap syukur yang tak henti-henti.

"Kamu suka naik vespa kenapa, Dek?"

"Kalau Mas Haikal kenapa?"

"Berasa kece aja sih kalau naik vespa."

"Sama kalau gitu."

"Yeee..."

Sejenak kemudian hanya ada hening. Haikal fokus menyetir. Tanpa tahu mata sipit perempuan yang diboncengnya mulai berkaca-kaca.

"Dulu Mei sering diajak almarhum Ayah keliling Semarang naik vespa, Mas."

***

Semarang, Sejarah dan KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang