Bayu berjalan berdampingan dengan Naya menuju tempat parkir sekolah. Dengan sedikit paksaan, Naya mau juga diminta untuk pulang bareng. Orang bilang, ini modus. Tapi, bagi Bayu, ini sebuah langkah yang siap mengantarkan dia menuju masa depan indah penuh bunga-bunga bermekaran.
"Di depan komplek rumah kamu ada Rumah Padang, bukan, Nay?" tanya Bayu setelah Naya menyebutkan alamatnya tadi. Dia rasa dia beberapa kali pernah lewat di depan komplek rumah Naya.
Naya kontan mengangguk, lalu menatap heran ke arah Bayu. "Iya! Kok tahu sih, Kak?! Suka makan di sana?"
"Lumayan, enak soalnya, tapi jarang juga, sih," jawab Bayu.
"Kenapa?"
"Makanannya kan bersantan juga berlemak, nggak sehat. Kasihan tubuh saya, masih muda."
Deg. Deg. Deg.
Pukulan berulang kali terjadi menghantam dada Naya. Dia mengerjapkan matanya setelah mendengar penuturan Bayu barusan.
"Kakak benar-benar menerapkan pola hidup sehat?" tanya Naya lagi.
"Ya," Bayu mengangguk, "Umur memang sudah ditentukan jauh sebelum kita lahir, tapi nggak berdosa untuk orang yang menjaganya sampai waktunya selesai."
Naya sukses terkagum-kagum dengan Bayu dan merasa de javu. Ucapan cowok itu mengingatkannya pada orang yang bayangnya sedang dihindarinya. Ini sama sekali nggak enak buatnya.
Tak lama setelah ucapan Bayu, mereka sampai di sebelah mobil berwarna putih Bayu. Cowok itu mempersilakan Naya masuk. Setelahnya, mobil Bayu sudah menambah keramaian jalanan sore.
"Naya," panggil Bayu.
Naya mengangkat alisnya bertanya, "Ya?"
"Saya harap kamu terima tawaran Pak Is," ujar Bayu.
"Kenapa memang?" tanya Naya.
"Karena saya pengin lebih sering ketemu kamu."
"Hah?" Naya melongo sekejap, bingung harus berkata lagi. Ini omongan Bayu beneran bikin Naya mempertanyakan kejujuran cowok itu. Tapi tak lama, tawa Bayu terdengar, membuat Naya percaya bahwa ucapan tadi itu hanya gurauan.
"Naya ... Naya, saya ini bercanda. Jangan dianggap serius. Saya minta kamu gabung karena saya butuh kamu, dan kamu butuh saya," kata Bayu, tapi sepersekian detik kemudian dia berucap lagi, meralat. "Tim saya butuh kamu, dan kamu butuh tim saya buat membenarkan nilai olahraga kamu. Begitu, 'kan?"
Naya menggeleng pelan, lantas terkekeh geli. "Oke, oke. Nanti saya bakal minta penjelasan lebih lanjut di Line, ya?"
"Siap!" balas Bayu. Setelahnya, hening menyelimuti. Canggung mungkin tepat digambarkan sebagai suasana kali ini. Kecanggungan itu terhenti ketika suara dering ponsel Bayu di dasbor mobil terdengar. "Bentar ya, Nay," kata Bayu, tangan kirinya mengambil ponsel perlahan tanpa sedikit pun mengalihkan fokus dari jalan.
"Iya, Kak Bayu. Nggak apa," sahut Naya.
Setelah melihat nama pemanggil di layar ponsel, Bayu menggeser layarnya menerima panggilan. Sebelumnya, ia juga menyentuh ikon loudspeaker yang ada agar memudahkannya untuk bertelepon tanpa menempelkan ponsel di telinga. "Halo, assalamu'alaikum, Ma."
"Wa'alaikumsalam. Kamu di mana, Bay? Hari ini kan nggak ada latihan, kok belum pulang?"
"Ini lagi di jalan, Ma, tapi antar teman dulu. Tadi habis ketemu sebentar sama anak klub. Setengah jam lagi insya Allah sampai."
"Oh, syukur deh. Ya udah, pulang hati-hati, nggak usah ngebut. Omong-omong, teman atau teman?"
"Teman ya teman, Ma." Bayu memutar bola matanya malas mendengar suara Mama yang mulai dipenuhi keingintahuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Capt!
Teen FictionBayu adalah kapten klub sepak bola sekolah yang kadar bagusnya jangan dipertanyakan lagi. Bagi Bayu, menjebol gawang lawan bukanlah hal yang susah. Alasannya, kelas karena menjebol hati Naya ternyata jauh lebih susah. Naya sendiri yaitu cewek bi...