The Chosen

139 17 0
                                    

Tokyo, 2017

Underground


---Saniwa P.O.V---

Teng! Teng! Teng!

Ring arena bertarung dibunyikan keras-keras. Ronde berikutnya telah dimulai. Sorakan penonton menambah keramaian malam. Para petarung yang kalah keluar dari dalam arena yang dibatasi jaring-jaring besi yang sangat tinggi. Petarung yang menang menjunjung tinggi pedang kayunya dengan bangga, haus akan sorakan para pendukungnya.

"Anko-chan, kau siap?"

"Yeah... Apalagi yang kau tunggu?"

"Ryokai!! Anko Sagara siap bertarung!!"

Sorakan semakin lantang, menghapus suara napasku yang belum teratur. Aku maju ke atas arena, agak susah payah. Kakiku sudah gemetaran. Papan score di atas diisi jadwal pertarungan. Sekarang sudah final. Ini pertempuran terakhirku.

Lawanku besar tapi gerakannya lambat. Mudah? Jangan bilang begitu... Kau tahu? Aku bukan satu-satunya petarung kendo perempuan di sini. Ada dua petarung wanita yang sudah kukalahkan. Badannya kecil tapi dia gesit seperti belut.

Intinya... ukuranmu bukan tolak ukur kekuatanmu...

"Hajime!!"

Aku meremas pedang kayuku, menangkis serangan dari atas. Tch! Kuat sekali. Benar, kan? Aku terlalu meremehkannya...

"Heah!"

Aku menggunakan kaki kiriku untuk menendang lututnya.

OH SHIT!!! Sekarang dia balas menendangku!! Kakinya yang besar langsung kena perutku... Oh damn... Ramen tadi sore bisa keluar lagi...

Aku tersungkur di ujung arena. Nyaris jatuh dari arena!

"Ohok!!" Darah... Ya... Baguslah, bukan ramen yang keluar.

"Sagara baka~ Gadis kecil sepertimu pulang saja ke rumah! Bantu ibumu saja sana! Hahahaha!"

Si sombong ini... Aku tidak suka dipanggil kecil. Kau tahu? Aku tidak meninggi sejak masa SMA-ku dimulai. Orang-orang terus mengataiku anak kecil. Anak kecil. ANAK KECIL!! Sampai aku diremehkan terus-terusan waktu mau melamar kerja...

"Anak kecil... anak kecil... Memangnya ada yang salah dengan ANAK KECIL YANG MENGHAJARMU DI ARENA KENDO???"

Marah membuatku kuat. Aku menarik diriku ke atas arena dan melesat ke depan. Pedangku licin. Keringat di tanganku sudah sangat banyak. Tapi aku tidak bisa menghentikan momentumku! Aku terus mengayunkan pedangku ke arah perut walau ia selalu menangkisnya dengan telak.

"Doshite? Ojou-chan~ Mau menyerah? Seranganmu kacau sekali~"

"URUSAI!!!!"

Aku melepaskan pedangku, meraihnya dengan tangan kiriku. Posisiku tepat di samping kanannya. Ada serangan dari atas yang harus kutangkis. Tapi aku memilih mengelak... Keras sekali serangannya itu kalau sampai kena punggungku! Aku bergerak ke belakangnya, menghajar punggungnya berkali-kali dengan kuat.

"Kurang ajar!!!"

Aku meluncur di atara kakinya, mengerem... Lalu tepat sebelum ia menebasku, aku menghunus bawah rahangnya dengan telak hingga ia jatuh...

"Satu!"

Ayolah... Jangan bangun, jangan bangun, jangan bangun.

"Dua! Tiga! Empat!"

Aku ikut menghitung sambil kewalahan berdiri... Aw! Perutku sakit bekas ditendang tadi...

"Delapan! Sembilan! SEPULUH!!!"

TENG! TENG! TENG! TENG!

"AND THE WINNER IS ANKO SAGARA!!!"

Aku menang. Akhirnya...


---Konnosuke P.O.V---

"So, the game has changed, huh? Saniwa..."

Aku tidak mungkin salah menilai orang. Katanya, anjing itu penilai karakter yang terbaik. Walaupun aku ini rubah, aku percaya aku masih memiliki bakat itu dari nenek moyangku.

Malam ini aku melihat seorang Anko Sagara, gadis berusia dua puluh tahun yang putus kuliah karena keterbatasan biaya. Lonceng di leherku mengeluarkan tayangan data-data kehidupan Anko-chan yang penuh perjuangan. Ia petarung yang hebat.

"Yosh!"

Aku mengubah diriku menjadi manusia laki-laki. Kalau aku perempuan, mendekati Anko bakal mudah. Sayangnya aku ini rubah jantan. Kuharap Anko tidak menyerangku saat kudekati.

Anko Sagara bertubuh kecil. Tinggi 160 cm. Berat badan 47 kg. Rambut sedikit berombak. Panjang sepinggang. Hitam. Berponi. Mata cokelat muda. Kacamata minus dua. Frame bulat. Penampilan malam ini: kaus tangan panjang putih, jaket parasut merah maroon, celana training warna hitam, sepatu olah raga putih. Barang bawaan: tas pedang.

Isinya pedang kayu...

Dan replika pedang Hizamaru dan Higekiri...

Aku menghentikan langkahku sambil berpikir bagaimana caranya Anko punya replika pedang itu. Apakah ini takdir? Aku merasa ada ikatan yang kuat antara Anko dan pedangnya. Inilah yang membuatku yakin Anko-lah orang yang tepat.

"Anko Sagara-san," aku memanggilnya sebelum ia meninggalkan tempat ini.

"Ya?"

Aku tidak sadar kalau sebenarnya dia ini cantik. Apa pendapat para toudan nantinya, ya? Walau berkacamata, ia tetap cantik. Mungkin wajahnya sedikit kusam saja setelah keringatan dan kena debu di arena. Ah... Aku jadi melamun.

"Ano... Watashi wa Konnosuke desu. Yoroshiku. Ada yang ingin kubicarakan denganmu."

"Bisa kita bicara sambil makan? Hoaam... Aku ngantuk dan lapar... A-aw..."

"Daijoubu ka?" Kenapa aku jadi kasihan melihat dia meringis. "Kau sungguh petarung luar biasa." Apa yang kukatakan barusan? "M-m-maksudku... Aku belum pernah melihat petarung kendo wanita sebelumnya... Jadi aku..."

"Hei... Kau mau menawariku arena baru?" Kulihat matanya berbinar padahal dia sedang kesakitan. Mungkin ini peluang bagiku untuk mengatakan tujuanku. "Hei, cepatlah... Satu..."

"Ah! I-i-iya... Maksudku..."

"Dua..."

"Anko-sama!" Aku mendekat cepat-cepat. Jantungku berdebar-debar. "Aku akan membayarmu dengan ini." Aku mengangkat sekeping koban. "Ada satu pertarungan yang harus kau selesaikan. kalau kau berhasil, aku akan membayar sisanya. Sembilan belas keping koban."

Anko terheran-heran melihat koban karena mata uang ini sudah tidak digunakan. "Ini emas asli." Aku berusaha meyakinkannya.

"Hmm... Coba ceritakan detilnya."

"Tidak bisa. Ini pertarungan rahasia."

"Hontou ni? Bagaimana kalau kau menjelaskannya sambil makan malam. Ayo! Aku sudah lapar, mengantuk, dan lelah... dan--"

"Tidak ada waktu lagi!"

Ekspresi Anko jadi seram. Sudah kuduga. Tapi aku tidak bisa berlama-lama di sini. Ada perbedaan waktu antara di dunia Anko dan di citadel. Satu menit di sini, mungkin tiga puluh menit di sana. Aruji akan...

"Gomen... Ini akan terasa sakit."

Aku menyentuh dahi Anko dengan telunjuk. Lonceng di leherku berbunyi. Semakin keras. Aku berkonsentrasi menyatukan pikiranku dengan Anko yang panik. Wajar... Aku sedang menarik kesadarannya... Aku menggandakannya...

Aku menarik kesadaran Anko melewati lorong panjang tak berujung yang penuh dengan cahaya...

Hingga sampailah kita di citadel...




Lords of Time (Hiatus For A While)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang