[DP6 - Dinamika Kota]

3.6K 855 78
                                    

Aku menatap kota sambil memegang kopi hangat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menatap kota sambil memegang kopi hangat. Salah satu keuntungan lembur adalah menatap kota yang mulai menunjukkan gemerlap malam harinya. Ditambah, Aditya mampu menyajikan secangkir kopi hangat paling lezat yang pernah kurasakan. Pekerjaanku sebentar lagi selesai, tapi entahlah, rasanya aku tidak ingin berlama-lama pulang.

Pulang mengembalikanku pada realita yang selama ini kubenci. Pada kenyataan yang tidak ingin cepat-cepat kudatangi. Dalam satu dan lain hal, aku, Dhito, dan Dhika punya kesamaan itu. Kami bertiga ingin keluar dari kondisi kami dengan putus asa. Ayah, kurasa, sudah tidak peduli lagi.

Dhika berlari pada KVLR. Dhito menemukan tempat di organisasi kampus serta kegiatan kuliah yang memadat. Aku mencari suaka pada kantor serta lampu-lampu yang dinyalakan di seluruh penjuru kota.

Perlahan-lahan kami hancur, dan tidak ada satu orang pun yang berusaha memperbaikinya.

"Perenunganmu tidak pernah berakhir ya," ujar Aditya, yang sudah ada di sebelahku dengan kopinya. "Sama seperti pekerjaan yang akan terus datang, dan dinamika kota yang seakan tidak pernah berhenti."

Aku mengangkat bahu. "Mungkin saja."

Aditya tidak langsung menyahut. Entah apa yang ada dalam pikirannya. "Dhira, bukan maksud saya mengguruimu. Hanya saja..., a broken vase wouldn't be able to grow a flower if it were broken. And it wouldn't get fixed, unless a potter came and tried to fix it." Dia meremas pundakku. "Percayalah."

Dia berbalik pergi. Aku sadar, dia membicarakan tentangku. Aku, potter yang harus memperbaiki vas keluargaku yang pecah berantakan.

[2] Deadly PleasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang