[DP18 - Pemakaman]

3.2K 841 397
                                    

Langit tampak berawan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langit tampak berawan. Baguslah. Setidaknya, semua orang yang hadir di sini tidak akan kepanasan.

Aku, Dhito, dan Ayah telah memutuskan untuk memakamkan Dhika di sebelah Bunda Lia. Itu tempat terbaik untuknya. Di sebelah ibunya. Di dekat wanita yang telah melahirkannya, wanita terbaik yang akan pernah ada. Mereka pasti senang bisa bertemu lagi.

Dhika meninggal bukan karena overdosis obat tidur. Kata dokter—secara samar aku masih mendengarnya ketika ia menjelaskan pada Dhito dan Aditya—perpaduan antara alkohol yang diminumnya di bar dan obat entah apa yang diminumnya berakibat serangan jantung mendadak. Tapi katanya Dhika tidak pergi dengan cara yang menyakitkan, seolah-olah itu bisa meringankan rasa kehilangan yang kurasakan—Dhika tetap saja pergi.

Aditya turut hadir di sana, mencoba untuk membantu mengurusi berbagai hal—konsumsi, transportasi, menyusun karangan bunga—tapi aku menolak untuk tetap diam. Aku mengatur semuanya. Bagaimana bunga-bunga yang membentuk ucapan dukacita itu ditempatkan. Makanan ringan apa saja yang perlu ada di setiap kardus. Siapa saja yang perlu datang. Hal-hal kecil seperti ini membuatku lupa.

Dhito menyambut setiap orang yang datang. Menyalami mereka satu per satu dan menerima setiap ungkapan duka mereka. Dia lebih baik dalam hal itu daripada aku. Ayah, di sisi lain, hanya duduk menatap peti mati, sesekali membalas ucapan orang. Mungkin perkataan itu benar—berat bagi orang tua untuk memakamkan anaknya.

Tapi saat itu datang juga. Saat di mana semua sudah diatur dan yang bisa kulakukan hanyalah menatap lubang yang digali. Menatap peti mati yang tidak jauh dari sana. Ayah yang termangu. Dhito yang tergugu. Aditya yang berdiri ragu. Bahkan Ruben, Dhimas, Anggit, dan kembaran Ruben—yang kemudian kuketahui bernama Ruby—yang terdiam bingung.

Lubang itu siap tak lama kemudian. Acara dimulai, dan setelah pembukaan yang membosankan, peti mati itu diturunkan. Dengan Dhika di dalamnya. Bahuku mulai bergetar. Dhito merangkulku. Aku ingin memalingkan wajah, tapi aku tidak bisa. Jadi dengan kaku aku menatap saat mereka menurunkan peti Dhika.

Aku terus membayangkan wajah yang pernah menatapku penuh harap itu kini pucat. Matanya yang pernah menatapku penuh perhatian terpejam rapat. Tubuhnya yang pernah memelukku erat sekarang dingin terbujur kaku. Mulutnya yang pernah memanggilku dengan suaranya yang khas tidak lagi bisa mengucapkan apapun. Pikiranku terpaku pada jasad yang pernah bernyawa. Pada Dhika yang pernah memberi warna.

Semuanya berlangsung cepat. Ruben dan Dhimas sempat berbicara sebentar. Dhito mewakili aku dan Ayah. Lalu lubang itu ditutup. Orang-orang mulai meninggalkan tempat ini. Dhito membantu Ayah berjalan ke mobil—ia tampak lebih tua sepuluh tahun sejak mendengar kabar itu. Ruben dan Dhimas masih tetap di sana sampai lubang itu sepenuhnya tertutup dan peti Dhika sudah tidak lagi terlihat. Aditya tetap ada di sebelahku.

Dan pada akhirnya, semuanya telah pergi. Aditya mengajakku pulang, tapi aku meminta waktu berdua dengan Dhika. Aku berlutut di sebelah makam yang masih baru itu, menepuknya pelan seolah-olah sedang menepuk punggung Dhika. Air mata yang kukira sudah mengering menetes membasahi pipiku.

Aku membuka mulut, namun suaraku tercekat. Parau, aku berbisik. "Kamu tenang ya di sana...."

Setetes air mata jatuh membasahi tanah. Dua tetes. Dan tanpa sadar, air mataku mengalir tanpa bisa kucegah.

"Kamu udah ketemu Bunda kan? Jaga Bunda ya di sana...."

Aku mengusap pipiku, terisak berusaha melanjutkan semua hal yang ingin kuungkapkan pada Dhika. Pada adik yang begitu kusayangi.

"Jangan lupa dateng ke mimpiku. Bilang kalau kamu baik-baik aja. Jangan minta maaf. Berbahagialah...."

Aku berdiri. Termenung. Kupaksakan seulas senyum. Setidaknya, aku meninggalkannya dengan sebuah senyum....

"Terima kasih untuk segalanya, Mahardhika Saputra."

Aku berbalik pergi. Tidak mampu lagi menanggung rasa sesak yang kurasakan.

Sesak karena Dhika telah pergi.

Aneh. Kekosongan ini sungguh menyesakkan....

[2] Deadly PleasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang