[DPExtra1 - Restoran Baru]

3.2K 762 239
                                    

Dua bulan, tiga minggu, dan dua hari setelah hari itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dua bulan, tiga minggu, dan dua hari setelah hari itu. Akhirnya kami kesampaian juga pergi ke restoran baru ini. Iya, aku dan Aditya.

Aku sempat mengambil cuti seminggu karena masih tidak mampu berfungsi. Kehilangan seseorang membuat seluruh tubuhmu seolah mesin yang tidak tersambung listrik. Mati rasa. Kosong, hampa, senyap. Ada kekosongan yang dengan putus asa ingin kuisi, namun sebanyak apapun kegiatan yang kulakukan, kosong itu akan tetap ada. Tetap mengonsumsi kewarasanku.

Saat aku merasa lebih baik dari itu, aku sudah masuk dan bertemu rekan-rekan kerjaku, tapi tetap saja masih menolak untuk pergi keluar. Mereka masih kadang menatapku dengan tatapan itu—kasihan, iba, semua itu. Aku tidak mau pergi dengan mereka dan diperlakukan berbeda karena baru saja kehilangan Dhika.

Aditya bersikap pengertian. Dia menjauhiku dan menjaga hubungan kami agar tidak terlalu dekat sampai menurutnya aku siap. Dibiarkannya aku dengan pikiranku. Dibebaskannya aku untuk berdamai dengan perasaanku. Sampai aku siap menghadapi orang lain. Sampai semuanya nyaris kembali seperti biasa.

Nyaris, karena memang tidak akan pernah bisa persis.

Dan justru aku yang mengajaknya ke sini. Entah karena aku butuh sesuatu yang akan membuatku sedikit melupakan atau karena aku merasa tidak nyaman karena dulu acara makan bersama kami batal. Yang jelas, aku butuh untuk beranjak dari kekosongan ini—dan kurasa, aku ingin memulainya dengan Aditya.

"Tumben," ujarnya, juga menyadari keanehan ini.

"Biarin." Aku hanya menyeringai. "Aku butuh lari sebentar."

Aditya mengangguk paham. "Jangan lari. Sekali kamu lari, selamanya akan begitu. Dan kamu nggak akan pernah benar-benar berdamai."

Aku menatapnya heran.

"Aku pernah ada di posisimu. Namanya Tyas. Kakakku."

"Maaf."

"Jangan." Dia tersenyum. "Tapi maksudnya, aku paham. Banget. Mungkin gak sepenuhnya, tapi sedikit banyak aku tahu."

Pantas dia tahu kapan harus datang dan kapan harus menjauh. Dia pernah ada di sana. Dia pernah mengalaminya.

Kami tidak banyak berbicara lagi saat makan. Hanya hal-hal kecil. Dan aku suka bagaimana Aditya mengajakku membicarakan hal-hal yang tidak penting dan membuatku tertawa. Setidaknya, pikiranku jadi lebih ringan. Setelah semua kepenatan itu, yang kuperlukan adalah sedikit tawa. Atau, well, banyak. Dan Aditya memberiku banyak lelucon tidak jelas yang malah lucu karena kegaringannya.

"Ah udahlah," ujarnya tak lama, setelah gagal membuat lelucon lagi. "Kayaknya emang aku nggak bakat jadi komedian."

Aku tertawa. "Kamu lucu karena kamu garing. Leluconmu sayangnya nggak lucu. Mungkin cocok jadi one of those dad jokes yang super renyah."

"Mungkin ya, sayang nggak ada yang mau jadi ibunya." Aditya menyeringai.

Aku tersipu, dan membalas hanya dengan memutar bola mataku. Aditya hanya tertawa. Dan untuk sesaat, kami terhanyut dalam riuh restoran dan lagu entah apa yang menjadi musik latar. Tubuhku terasa sedikit bergetar saat aku hendak mengatakan sesuatu.

Menghela napas, aku membuka suara, "Kalau—"

"Kamu—"

Tepat bersamaan, Aditya ikut bersuara. Kami tertawa bersama, dan rasanya lega. Aku merasa seperti anak SMA yang grogi di hadapan orang yang kusukai, tapi biarlah.

"Kamu dulu," ucapku.

Aditya mengangguk. "Kamu tau kan Pak Rama sudah akan pensiun? Orang yang mendapat promosi... itu aku."

"Wah, selamat! Kamu emang cocok banget gantiin Pak Rama. Galaknya dapet," ujarku, dan dia tertawa. Dia layak mendapatkan posisi itu. "Oke, giliranku."

"Giliranmu."

"Kalau misal aku mau pindah kerja, enaknya pindah ke mana ya?"

"Pindah kerja?"

Aku mengangguk. Dan dengan suara lebih lirih aku berkata, "Kan peraturan perusahaan begitu. Nggak boleh pacaran sama rekan kerja. Apalagi sama bos sendiri...."

Wajah Aditya merah padam. Aku hanya menyeringai, tapi rasanya, wajahku pun memerah. Kecanggungan itu berakhir dengan dia akan membantuku mencari tempat lain yang tidak kalah bagus dengan perusahaan kami yang sekarang. Setelahnya kami tidak lagi membalasnya, dan aku terlalu malu untuk bertanya.

Astaga, apakah kami sudah jadian?    





...

#TeamAdhira

[2] Deadly PleasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang