[DP11 - Rapor]

2.9K 788 87
                                    

Kurasa sudah sejak Dhika SMP, akulah yang selalu mengambil hasil ujiannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kurasa sudah sejak Dhika SMP, akulah yang selalu mengambil hasil ujiannya. Ayah kadang masih tahap memulihkan diri sesudah mabuk, atau sedang bekerja hingga malam dan menginap di tempat konstruksi. Jadi, aku yang mengambil peran sebagai wali.

Banyak orang tua menatapku heran saat pertama kali aku melangkahkan kaki memasuki ruang kelas sebagai wali Dhika, namun mereka lambat laun paham kalau aku kakak Dhika dan bukan ibunya. Well, jelas-jelas aku tidak terlihat seperti cewek-cewek salah pergaulan yang hamil sebelum waktunya kan ya? Kadang judgement orang membuatku sebal.

Pagi ini, beberapa minggu sesudah kejadian Dhika mengganja di rumah-entah-siapa itu, aku mengambil hasil ujian kenaikan kelasnya. Banyak orang tua datang dengan anak mereka. Aku pun datang dengan Dhika karena dia ingin mengobrol dengan Ruben dan Dhimas, seolah-olah mereka belum setiap hari bertemu. Mereka berkumpul di luar dengan seorang Ruben-versi-perempuan dan pacar Dhimas. Aku masuk kelasnya dan mengambil tempat di salah satu kursi.

Setelah pengantar panjang dan menidurkan dari guru wali kelas Dhika, satu per satu orang tua atau wali dipanggil untuk mengambil hasil ujian anaknya. Di saat aku melihat semua orang tua sudah dipanggil, sementara aku belum, perasaanku jadi tidak enak. Benar saja, aku dipanggil terakhir kali. Dan raut wajah Bu Heni, wali kelas Dhika, seolah-olah membenarkan firasatku.

"Lama tidak bertemu ya." Bu Heni tersenyum. Ia mengenaliku karena dulu aku pun muridnya. "Kamu terlihat dewasa sekali."

"Terima kasih, Bu," aku balas tersenyum. "Rapor Dhika... mengerikan ya Bu?"

"Dhira, kamu harus tau, bahwa sesungguhnya saya tidak menyukai ini...."

Firasatku telah terkonfirmasi.

"Tapi melihat nilai Dhika, saya rasa, dia belum siap melanjutkan pelajaran ke depannya." Bu Heni menunjukkan isi rapor Dhika. "Kamu bisa lihat sendiri."

"Saya paham kok Bu."

"Maafkan Ibu, Dhira. Dhika bukan anak yang bodoh. Dia hanya tidak mau berusaha. Itu saja...."

Setelah mengambil hasil belajar Dhika dan berbasa-basi dengan Bu Heni, aku keluar. Yah, aku tahu hari ini akan datang juga, tapi tetap saja, semuanya terasa tidak nyata. Dhika tidak akan menerimanya dengan baik. Tidak sama sekali. Dia akan marah dan justru semakin tidak terselamatkan.

Dhika masih ada di luar bersama teman-temannya. Semua sudah memegang rapor masing-masing dan saling tunjuk. Mereka semua tertawa. Mereka semua bahagia. Dan aku di sini datang dengan berita buruk.

"Kak Dhira, akhirnya keluar juga!" Dhimas berseru. "Nah ini, rapor Dhika!"

Dhimas mengambil benda itu dariku. Dhika hanya menatapku tanpa mengatakan apapun. Aku membalasnya. Tampaknya, dia sudah tahu dari mataku bahwa sesuatu buruk telah terjadi. Dia tahu. Mulutku bungkam, tidak tahu bagaimana harus menghadapi situasi seperti ini.

"Astaga, kukira nama lo Andhika. Ternyata Mahardhika," celetuk Ruben-versi-cewek. "Kebagusan, Dhik."

"Gue juga mikir gitu, By." Anggit tertawa. Dia mencondongkan badannya ke arah Dhimas yang sudah melihat isi rapor Dhika bersama Ruben dan Dhika. "Gimana hasilnya?"

Wajah Dhika sedikit memucat, tapi dia tidak terlalu terkejut. Dia segera menyambar rapornya sebelum Ruben dan Dhimas sempat melihat lebih jauh. Saat dia mundur teratur, aku langsung menyusulnya. Senakal apapun dia, kabar ini bukan sesuatu yang mudah untuk diterima.

Aku berusaha mencekal lengannya, "Dhik—"

"Lepas, Kak," tukasnya, tidak mau menatapku.

"Nggak, lo ikut gue."

Dhika sudah hendak menolak, tapi aku berhasil menyeretnya. Akhirnya dia menurut saja, dan kami segera meninggalkan sekolah. Menuju satu tempat yang selalu kami kunjungi. Memulai sebuah ritual yang telah menjadi kebiasaan kami.

[2] Deadly PleasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang