[DP7 - Pesta]

3.1K 833 115
                                    

"Kak, lo bisa ke sini sekarang?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kak, lo bisa ke sini sekarang?"

Aku mengernyit ketika Dhito meneleponku begitu aku hendak pulang. "Ke mana?"

"Nanti gue kasih alamatnya. Yang jelas, lo harus ke sini. Pake mobil—taksi, nebeng siapa, apa kek. Yang penting pake mobil."

"Dhit, elo nakutin gue."

"Gue pun takut Kak." Dhito terdiam sejenak, sebelum kembali berkata dengan terburu-buru. "Cepet ya Kak."

Panggilan itu diakhiri dengan kasar, sebelum akhirnya Dhito memberikan alamat dengan share location pada salah satu aplikasi chat. Aku tidak mengenali alamat itu, membuatku semakin gelisah. Tempat apa itu? Dan kenapa Dhito menyuruhku datang dengan mobil?

"Ada masalah?" tanya Aditya mendadak, membuatku terlonjak. "Oh, maaf."

"Tidak apa-apa," aku tersenyum, lalu berdiri. "Saya harus—oh! Tunggu. Kamu bawa mobil kan? Boleh saya numpang? Malam ini saja."

"Tentu. Ada apa?"

"Saya pun nggak tau."

Kami berjalan cepat bersama ke parkiran. Dengan cepat, mobil Aditya meluncur di jalanan. Aku lebih banyak memperhatikan luar, tidak ingin membayangkan apapun. Apakah Dhito terluka? Terlibat masalah? Atau apa? Semakin aku memikirkannya, semakin banyak pertanyaanku.

Rumah yang menjadi tujuan kami berada di dekat Mayapada. Tempat itu tampak terbengkalai meski ada sekitar sepuluh motor di halamannya. Aku mengenali salah satunya sebagai milik Dhito. Astaga, rumah apa ini? Kenapa dia menyuruhku pergi ke sini?

"Ini tempat siapa, Ra?" Aditya bertanya seusai memarkirkan mobilnya di halaman rumah.

"Entahlah." Aku bergegas keluar. "Tolong tunggu di sini. Saya akan segera kembali."

Dia menyerukan entah apa, tapi aku tidak memedulikannya. Fokusku adalah rumah itu dan apa yang ada di dalamnya. Jantungku berdetak keras, takut dengan apa yang akan kudapatkan. Aku bahkan tidak memedulikan Aditya yang menyusulku.

Pintu terbuka tiba-tiba, dan Dhito menampakkan dirinya. Matanya yang berhias gelisah langsung tampak lega begitu melihatku. Dia mengajakku masuk.

Dhika dan beberapa anak lain ada di dalam, terkapar tidak sadarkan diri. Bau-bauan aneh mengusik hidungku. Ruben dan Dhimas muncul dari balik ruangan lain, entah apa yang barusan mereka kerjakan. Sesuatu buruk terjadi di sini—dan aku tidak yakin aku ingin tahu kebenarannya.

"Kak, sorry, harusnya kami bisa cegah ini," kata Dhimas seraya menghampiriku.

"Iya Kak, harusnya gue nggak ngasih nomor V ke Dhika." Ruben menggaruk kepalanya, terlihat sungguh kecewa pada dirinya sendiri.

Aku mengalihkan pandangan dari Dhika pada dua temannya itu dengan linglung. "Ini... apa? Siapa V?"

"KVLR hari ini ulang tahun, Kak," Dhito angkat suara. "Dan mereka... pesta."

"Weed," gumam Aditya setelah mengendus bubuk putih yang menyelimuti meja—kukira benda itu tepung.

"Mr. V...," Dhimas ragu sejenak, "dia adalah pengedar narkoba yang menjual ganja pada KVLR sejak lama."

Kepalaku berdenyut hebat. Dhika... berpesta malam ini. Astaga.... Kapan... kapan dia akan sadar bahwa kelakuannya ini buruk?

[2] Deadly PleasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang