Três

81 4 0
                                    

Apakah pertemuan kita adalah bagian dari takdir?
Ataukah, sekedar serpihan kecil fragmen dalam hidup.
Yang hanya bertugas untuk hadir,
Lalu menghilang, menjadi sebuah kenangan.
Entah kebahagiaan ataukah kepedihan yang akan ditinggalkannya.

🌹🌹🌹

Orang itu berhenti tepat di depan Adriana dengan tatapan yang tajam dan penuh selidik seakan dapat menghujam orang yang sedang ia tatap.

Seorang cowok bertubuh tinggi dan tegap, memakai baju kaus pendek biasa dengan celana jeans dan sendal jepit yang terlihat murahan namun berhasil terlihat mewah karena orang yang memakainya terlihat begitu tampan. 

Orang itu tiba-tiba saja memasang wajah terkejutnya dan sedikit mendekatkan wajahnya pada Adriana.

Ia mengarahkan jari telunjuknya ke arah Adriana. "Lah, bukannya lo maling yang di sekolah kemarin!" tuduhnya.

Adriana menepis kasar tangan cowok itu. "Jangan sembarangan kalo ngomong," sahutnya berusaha menahan emosinya di depan semua orang.

"Udah gue bilang, gue bukan maling. Dan ini emang milik gue yang ketinggalan di kelas itu," sambungnya seraya menunjukkan Handphone yang ia pegang.

"hmmmm." cowok itu menaikan sebelah alisnya seakan tidak ingin percaya dengan penjelasan Adriana.

"Terus ngapain lo disini? lo nguntit gue ya? mau jadiin gue sasaran selanjutnya?" tanya cowok itu.

Masih saja menuding dan tidak memedulikan orang yang di depannya sudah semakin kesal saja, cukup sudah kesabaran Adriana menghadapi orang ini.

"Heh! Lo pikir ini cafe punya nenek lo terserah gue lah, dan untuk kesekian kalinya gue bilang gue bukan maling! lo punya kuping gak sih?!" omel Adriana meninggikan suaranya seraya menunjuk-nunjuk telinganya sendiri.

Terlihat beberapa pasang mata sedari tadi memerhatikan mereka.

Baru saja cowok itu ingin menyahut perkataan Adriana, Handphone yang sedang dipegang cowok itu berbunyi dan ia pun segera mengangkatnya.

"Gue gak bisa main piano! lo tau itu kan. Dan kenapa harus gue yang gantiin kerjaan dia sih," teriak cowok itu terlihat sangat kesal karena panggilan yang ia terima.

Lalu pergi menuju panggung kecil yang terletak di cafe tersebut tanpa memedulikan keberadaan Adriana yang sudah sangat geram akibat perlakuan cowok itu.

"Ya Tuhan, sikapnya dia mulia banget," sindir Adriana menggelengkan kepalanya.

Ia pun duduk kembali dengan perasaan malu mengingat banyak orang yang tadi melihatnya berteriak.

Adriana berpikir untuk tidak peduli lagi dengan pendapat orang tadi. Tidak ada untungnya bila ia selalu menjelaskan kepada seseorang yang tidak di kenal. 

Dipikir-pikir lagi, malah seperti orang itu yang terlihat sangat mencurigakan.

Kenapa dia bersikeras menuduh Adriana maling, tidak ada hal lain kah yang dilakukannya selain menuduh orang sembarangan.

Tidak lama kemudian, Evika berlari ke arah Adriana. Ia sangat bersyukur melihat kedatangan temannya itu.

"Duh, maaf ya, Na, kelamaan," kata Evika terlihat tidak enak dengan Adriana.

"Yaudah yuk, kita jalan sekarang aja ntar kesorean," sahut Adriana seraya menarik pelan tangan Evika.

Adriana dan Evika berkeliling di sekitar kota tidak jauh dari cafe tempat Evika bekerja tadi, terlihat di pinggir kota banyak yang menjual jajanan-jajanan khas di sana.

Just Married with meWhere stories live. Discover now