CHAPTER 4 : TAK TERDUGA

99 10 0
                                    

Kelas kembali dimulai hari ini dan diawali dengan aslab yang dianggap menjengkelkan, yaitu Wendy. Mungkin cara mengajarnya sudah sesuai aturan, tetapi sayangnya mahasiswa lebih menyukai pengajar yang fleksibel atau yang memberikan kelonggaran pada mahasiswa.

"Oke, ternyata cuman 1 ya yang gamasuk hari ini?" ujar Wendy setelah mengabsen seluruh kelas. "Kalian tau Eric kemana? Sakit atau apa?" seluruh kelas menjawabnya dengan menggelengkan kepala dan ada yang mengatakan tidak tahu.

"Tumben, tuh anak kemana? Biasa masuk terus," ujar Lukas.

"Mungkin, dia lagi jualan kali ko," ujar Marcel yang membuat seluruh kelas tertawa, tanpa mereka ketahui bagaimana nasib teman mereka.

Eka duduk disebelah Timo di kelas pagi ini. Mereka berdua tidak mengucapkan sepatah kata, hingga akhirnya Eka memutuskan untuk memecah keheningan diantara mereka berdua.

"Mo, gua maaf banget buat ngungkit masa lalu. Tapi, gua...," Eka sedikit terbatah sedikit dan Timo pun langsung berkata,"Gua tau maksud lu , Ka. Tenang mungkin gua sedih, tapi gua gak nyalahin lu kok. Gua tau lu melakukan yang seharusnya, lu mau dibunuh ama seseorang."

"Makasih, Mo udah ngerti," jawab Eka.

"Lu pikir kalau dia masih hidup, gua mau pacaran sama pembunuh? Gua juga mikir kali," lanjut Timo sambil tertawa.

Eka hanya membalas dengan senyuman yang menandakan dia setuju dengan Timo.

"Oke hari ini akan dibagi kelompok untuk tugas. Kelompok 1, ada Eka, Marcel dan Anna. Kelompok 2, ada Ari, Clara dan Timo. Kelompok 3....," Wendy membacakan semuanya sampai nama kelompok habis.

"Oke, mulai diskusiin tugasnya yang dibuku ya." kemudian dia duduk dan bermain komputer. Tak heran dia menjadi aslab paling menyebalkan.

Eka duduk bersama Marcel dan Anna. "Eh lu lagi. Gua kapok ngundang lu ke rumah gua. Rumah gua jadi dijual gara-gara lu," ujar Marcel sambil tertawa.

"Plis jangan ngomongin itu." gumam Anna yang hanya terdengar Marcel.

"Hah kenapa, Na?" kata Marcel keherenan.

"Gua paling gasuka ada orang yang jadi spesial gara-gara dia tertimpa suatu kejadian. Yang kebetulan. Atau terencana, gua juga gatau!" kata Anna sambil melirik ke arah Eka.

"Anna, gua gatau masalah lu apa. Kita sekarang lagi kerja kelompok, tolong jangan....," "Jangan apa, orang spesial?" teriak Anna sedikit kesal.

"Yaudah kalau lu lagi gak mood, gua sama Eka aja yang diskusi deh." kata Marcel sedikit takut.

Diskusi kelompok pun hanya dilakukan Eka dan Marcel. Anna hanya terdiam merenung apa yang telah ia katakan tadi sampai kelas telah berakhir.

***

"Dia akhirnya ngomong, dan dia membentak lu?" tanya Ari kehernan di kantin setelah kelas berakhir.

"Iya, dia marah. Gua gatau kenapa dia kesel sama gua," jawab Eka.

"Wah, tampaknya kita ada di dalam situasi Until Dawn. Dimana, salah satu karakter yang terlihat baik malah ternyata psikopat," ujar Lukas.

"Gua gabilang dia psikopat," jawab Eka, sambil menyuap nasi.

"Tapi itu udah menunjukan dia adalah psikopat, Ka. Dia marah ke elu. Dia benci ke elu. Apa lagi? Dia mau bunuh lu selanjutnya?" jawab Ari.

Telepon berdering memotong pembicaraan mereka bertiga. Itu handphone Eka. Dia melihat ada chat masuk dan itu dari Eric. Dia dengan cepat membuka chat tersebut dan isinya adalah ancaman.

Jangan lu bilang ke kedua teman lu ini dari gua. Gua ingin lu dateng ke Ruko Amerika no 25. Gua liat lu bawa orang satu aja, hidup mereka gak akan sama lagi. Lu bilang satu kata aja tentang pesan ini ke kedua temen lu, mereka gabakal hidup lagi dalam minggu ini.

"Siapa ka?" tanya Ari.

"Nyokab, Ri," jawab Eka, membohongi temannya.

Setelah selesai kuliah, Eka langsung datang ke Ruko Amerika. Ruko Amerika adalah ruko paling kosong diantara kelima ruko yang ada di dekat UNGAR. Tempat kos disini katanya cukup kotor.

Eka melihat no 25 ternyata lebih sudah kosong dan tampak ditinggalkan. Eka membuka pintu dan dia naik keatas. Dia melihat darah di pintu yang tertutup di ujung tangga.

Eka membuka pintu perlahan-lahan dan dia melihat darah di lantai. Darah yang keluar dari tubuh yang diseret. Eka mengikuti jalur darah itu. Hingga akhirnya Eka, tersandung sebuah tali dan dari atas jatuh sebuah tubuh yang digantung di leher.

Eka mengenal orang itu, itu Eric. Ususnya keluar dari perutnya, darah sudah membasahi kaosnya dan kedua matanya hilang. Eka melihat ada tulisan di yang ditancapkan di dadanya.

Bukan orang yang selamat seperti lu! Eka tercengang dan dia berlari keluar dan memanggil polisi.

***

Polisi datang langsung ke lokasi kejadian 30 menit kemudian dan langsung mengevakuasi jenazah. Terlihat juga Bima dan Pak Tegar turut hadir dalam penggerebekan.

"Sudah saya duga Mad Wolf tidak akan pergi jauh dari Gading Ruah," ujar Pak Tegar.

"Pembunuhnya ngehubungi kamu pake nomor siapa, Ka?" tanya Bima.

"Nomor Eric," kata Eka tergagap-gagap.

Bima dan Tegar masuk ke dalam untuk mengontrol keadaan, Eka sedang duduk didekat parkiran.

Telepon kembali berdering. Itu adalah telepon dari nomor yang tak dikenal. Eka mengangkatnya dan suara tak dikenal terdengar, " Halo, Eka. Sang survivor! Gimana, ada teman dekat yang mati lagi? Gimana rasanya kehilangan orang dekat seperti teman?" Eka langsung menutup telepon dan melaporkan hal tersebut kepada Bima dan Tegar.

"Apa, dia menelepon kamu?" ujar Tegar terkejut.

"Oke kita butuh handphone kamu untuk melacak keberadaan orang yang menelepon tadi." kata Bima dengan sigap langsung mengambil handphone Eka.

Malam itu, Eka memberanikan untuk tidur sendiri di rumahnya. Dia menolak tawaran dari teman-temannya untuk tidur dirumah mereka. Dia tak ingin mereka menjadi korban selanjutnya, seperti Eric.

>

The Howling Night IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang