III. Jalanan Sesal

134 12 0
                                    

Aku benci dengan jalan ini.

Jalanan sesal yang membuat luka itu kembali menganga tatkala aku semakin jauh melewatinya,

.
.
.
♡♡♡

"Balonku ada lima.. Rupa-rupa warnanya. Hijau ,kuning, kelabuu. Merah muda dan biruu. Meletus balon hijau door.!!-"

Tepat saat aku mengatakan kata 'door' , Piko tertawa terbahak-bahak. Karena gemas, aku juga menggelitiki tubuhnya sampai bocah laki-laki berumur dua tahun itu guling-guling dikasur.

Ia memintaku menghentikan aksi jahil ini sambil tertawa keras. "Kak An, udah.. Piko capek!! Hahaha" pintanya dengan suara cadel khas anak kecil.

Aku menggeleng tegas. Dengan jemari kecil yang masih berada diatas perut Piko, aku membangunkan tubuhnya. Lalu berbisik ditelinganya,

"Ayo kita jalan-jalan keluar gang.."

Setelah menghentikan tawanya, Piko terlihat berpikir sebentar, "Engga boleh kata Mama.."

Aku menghela napas, Piko memang masih sangat polos dan entahlah, aku merasa kesal saja jika dia menolak keinginanku. "Sebentar aja, Pi. Cuma sampai gang depan.."

Aku berusaha meyakinkan. Cukup lama Piko nampak berpikir kembali, hingga akhirnya dia mengangguk setuju. "Nanti kalau Mama marah, pokoknya Kak An yaa.." Piko berlagak menasehatiku, menunjukku dengan jari kecilnya.

"Siap, Bos" Aku memberi hormat, seolah sedang berhadapan dengan seorang kapten TNI. "Yuk kita keluar!"

Piko terkekeh geli ketika melihat tingkahku. Tapi detik selanjutnya, ia bertanya. Hal yang membuatku nyaris terjungkal karena menahan tawa.

"Enggak pakek helm, Kak An?"

"Hahahaha.."

Kulihat Piko mengerutkan dahi, bingung. "Kak An kok ketawa?"

Aku menarik napas panjang, berusaha menjelaskan.
"Helm itu buat orang yang kepalanya besar. Kayak Mama, Budhe, Pakdhe. Kita yang kepalanya kecil nggak perlu pakai helm.." ucapku sok benar. Karena yang ku pelajari sejauh ini ya memang begitu.

Helm memang untuk orang-orang berkepala besar. Bukan untuk aku ataupun Piko yang kepalanya kecil.

Mendengar itu, Piko mengangguk paham. "Sekarang Piko ngerti Kak An. Kita sebagai kaum berkepala kecil nggak perlu pakek helm kalau kemana-mana. Yeeeyyy!!!"

Piko bersorak. Lalu melompat-lompat dengan girang. "Ayo, Kak. Kita jalan-jalan. Piko nggak sabar nih.." ajaknya.

Akupun mengikuti langkah Piko dari belakang. Kami mengambil sendal dari rak, lalu memakainya ketika akan keluar rumah.

Aku dan Piko berjalan bersisihan. Tangannya aku pegang kuat-kuat, memastikan kalau dia aman bersamaku.

"Kak An, Piko sayang sama Kak An. Kak An sayang Piko nggak?" Ia bertanya dengan polos. Aku tersenyum.

Meskipun Piko sering kali menjengkelkan dan membuat Mama tidak menepati janjinya seperti tadi, aku selalu sayang adikku yang menggemaskan ini.

Dia itu lucu, dan setiap kali melihatnya, aku selalu ingin mencubit pipinya yang gembul itu.

"Kak An.." Tak kunjung mendapat jawaban dariku, Piko menegur.

Aku mengangguk, "Kak An sayang sama Piko. Kalau Piko nggak nakal.."

"Piko kan nggak nakal, Kak!" Ia menggembungkan pipinya.

Aku menghentikan langkahku, dan berjongkok untuk melihat ekspresi sebal khas Piko lebih dekat.

"Kamu itu nakal. Kamu suka nangis, suka ngambek! Kata Mama kamu nakal kok,"

Piko berkacak pinggang, lalu memencet hidungku seperti sedang memencet bel rumah. Aku mendengus.

"Kak An juga nakal. Kak An suka marah, suka banting barang! Kata Mama juga Kak An nakal.."

Aku menggaruk tengkuk, Piko benar juga ternyata. Kata Mama, aku kan memang anak nakal.
"Yaudah berarti kita sama-sama nakal.." ucapku akhirnya.

Setelah mendengar penuturanku, Piko terlihat puas.
"Yeayy aku sama nakalnya kayak Kak An.." Ia mengalungkan lengannya pada helerku. Kemudian mencium pipiku dengan sayang.

♡♡♡
.
.
.

Benar Piko. Kita memang nakal. Dan seharusnya kita menyesal akan itu.

Bukan malah bangga dan tertawa bahagia..

Perfume Regret (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang