VI. Gambaran Sesal

89 10 0
                                    

Karena tepat saat jatuh air mata pertama ini,

Ku deklarasikan diri sebagai 'si bodoh dengan gambaran sesal masa lalunya'

.
.
.
♡♡♡

Rengekan manja, tangisan nakal, senyum penuh bangga, tawa penuh suka. Siapa yang bisa menjamin, sebuah kebahagiaan akan bertahan lama?

Bagaimana jika semua hal indah itu hilang dalam satu kedipan mata? Bagaimana, bagaimana, bagaimana? Aku harus bagaimana?

Mataku berair, mengingat kejadian naas yang kulihat seminggu lalu. Saat dimana sebuah truk besar menabrak seseorang yang kini kuketahui adalah seorang wanita.

Kabar terbaru yang aku dengar, Wanita itu adalah seorang Ibu dengan usia sekitar 35 tahunan. Ia meninggal ditempat, saat kejadian itu berlangsung.

Wanita itu, hendak menyebrang jalan dengan membawa sekantung kresek berisi beberapa peralatan tulis. Namun ia tidak menyadari ada sebuah truk besar yang melaju dengan kencang kearahnya. Hingga, kejadian buruk yang saat itu dilihat oleh kedua mataku ini terjadi.

Dia tertabrak truk. Kakinya hancur terlindas ban truk. Nyawanya, hilang saat itu juga.

Aku semakin terisak. Darah yang melumuri badan wanita itu terus saja mengganggu pikiranku sejak beberapa hari ini. Aku semakin meringkuk, memeluk lutut dengan keringat dingin yang bercucuran di dahiku.

"An?"

Aku tidak mendongakkan kepala. Masih duduk di ubin sebuah rumah yang tak ingin kukunjungi. Karena wakty itu Mama pernah bilang, kalau rumah ini adalah rumah untuk orang-orang sakit.

Aku tidak mau sakit. Aku tidak mau disuntik dokter. Dan aku juga --sebenarnya-- tidak mau orang yang kusayangi ada dirumah berbau antiseptik itu.

Orang itu menyentuh lenganku dengan lembut. "Maafkan Budhe.." ujarnya hati-hati. "Ini dari Mamamu.." ia membawa sebuah buku gambar.

Melihat Budhe Nani hendak menyerahkannya ke tangan ini, aku menampiknya. Membuat buku gambar itu terlempar jauh dari tempatku dan Budhe Nani sekarang.

Deru napasku memburu, namun setelah melihat Budhe Nani menitikkan air matanya karena melihat sikap kasarku, aku menghambur kepelukannya. Menangis tersedu-sedu adalah hal yang kulakukan setelahnya.

"Kenapa Tuhan jahat Budhe? Kenapa dia melukai Mamaku? Kenapa dia buat Mamaku tidur selama seminggu?" Teriakku, tidak terima dengan keadaan Mama seminggu ini.

"An?" Budhe mengelus puncak kepalaku, hendak menenangkan. Aku bisa merasakan punggungnya yang naik turun, ikut menangis melihatku sehancur ini.

Ya, aku benar-benar hancur.

Seminggu yang lalu, aku menunggu Mama pulang kerumah dengan membawa buku gambar yang kupesan. Aku menungunya hingga larut malam, namun Mama tidak juga pulang.

Tiba-tiba Budhe Nani menjemputku dan Piko untuk mengunjungi Mama kesini. Rumah Sakit, tepat di ruang yang tidak boleh di masuki oleh siapapun, termasuk kami kedua anaknya.

Kami hanya bisa melihat Mama dari jendela kaca. Ia koma, karena namanya termasuk dalam daftar korban kecelakaan besar itu. Mama dan ke 2 orang lainnya, adalah orang-orang yang kurang beruntung saat itu.

Namun diantara korban lain, Mama adalah satu-satunya yang masih diberi kesempatan hidup. Wanita yang kulihat seminggu lalu adalah salah satu dari dua orang yang tewas. Mama koma, hampir seminggu ini. Dan seminggu ini pula, aku terus menangisi keadaannya.

"Budhe, apa aku yang buat Mama begini? Katakan Budhe.." Ucapku terbata-bata. Budhe menggeleng, sambil menyeka air matanya.

"Seandainya waktu itu aku nggak minta Mama membelikan buku gambar pasti Mama nggak akan kecelakaan kan, Budhe?"

"An, enggak. Ini bukan salah kamu, Nak. Ini-"

"Ini salahku Budhe. Aku yang merengek minta Mama pergi beli buku gambar. Aku anak nakal, aku yang udah buat Mama sakit.. Aku Budhe!! Akuu orangnya!!" Budhe kembali memelukku, kali ini lebih erat.

"Kak An.." Itu suara Piko. "Jadi Kak An yang bikin Mama kecelakaan? Kak An yang buat Mama tidur selama ini?" Tanyanya penuh emosi.

Aku melepaskan pelukan Budhe Nani. "Bukan Piko, ini bukan karena Kak Anya" Budhe Nani menjawab, sedangkan aku hanya diam. Masih membiarkan air mata ini membasahi pipiku.

"Kak An, jawab Piko!!" Piko menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. "Kakak yang buat Mama begini?"

Mendengar pertanyaan Piko, dadaku makin terasa sesak. Seperti baru saja dipukul oleh palu godam yang menyakitkan. Mungkin setelah ini, Piko akan membenciku kalau tahu aku adalah dalang dari kejadian naas yang dialami Mama.

"Iya" jawabku akhirnya.

Budhe Nani menatapku tidak percaya. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu untuk membelaku, tapi aku lebih dulu melanjutkan.

"Aku yang membuat Mama begini. Iya, aku Piko. Aku orangnya.."

♡♡♡
.
.
.

Benarkan Piko? Bahkan sampai sekarang, kamu masih marah padaku.

Kamu membenciku. Membenci seorang Kakak yang dulu pernah kamu bangga-banggakan.

Kamu marah pada kakakmu ini.

Perfume Regret (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang