VII. Akhir dari Sesal

149 14 4
                                    

Karena pada hakikatnya, penyesalan hanya akan berakhir dengan sia-sia..

.
.
.
♡♡♡

Kini aku berbeda. Usiaku bertambah. Dari seorang gadis kecil penuh tangis berusia 6 tahun, yang selalu menyesali setiap masa lalunya, menjadi seorang gadis remaja kuat --sebut saja begitu-- berusia 17 tahun, yang --kurasa-- lebih baik dari sebelumnya.

11 tahun yang lalu, ingatanku masih sangat jelas mengenai kejadian itu. Kejadian dimana Mama terlibat kecelakaan besar dan mengalami koma selama bertahun-tahun.

Sebelum Tuhan benar-benar mengambilnya dariku, ia masih memberiku beberapa waktu untuk melihat Mama. Sekalipun ia tidak pernah terbangun dari tidur panjangnya, namun aku bisa sedikit bersyukur.

Aku masih bisa melihat --wanita yang paling aku sayang-- itu meski dengan selang bantu pernapasan masih terpasang sempurna disana. Dengan infus yang setiap beberapa saat sekali diganti oleh suster jaga.

2 tahun lamanya, kami setia menunggu Mama segera sadar dari tidur itu. Aku, Piko, Budhe Nani, dengan do'a yang sama kita panjatkan. Untuk kesembuhan Mama, untuk yang terbaik bagi Mama.

Piko masih membenciku, bahkan sampai usianya yang kini menginjak 13 tahun. Dia tidak mau bicara apapun denganku, seolah kita memang tidak saling kenal sekalipun kami sebenarnya tinggal dirumah yang sama.

Dokter mengatakan bahwa Mama telah meninggal, saat dulu aku berusia 8 tahun dan Piko berusia 4 tahun, tepat hari Jum'at pukul 12.01 siang. Aku masih ingat, bagaimana Piko menangis dipelukan Budhe Nani karena ditinggal oleh orang yang kami sayang, Mama.

Saat itu, aku lebih bisa menerima pukulan berat tersebut karena sebelumnya, seseorang membuatku berubah. Dialah seorang Dokter yang selama 2 tahun itu merawat Mama, Dokter Wildan namanya.

Dari yang semula aku menyalahkan diri atas keadaan Mama, menjadi lebih ikhlas dan pasrah pada kehendak Tuhan sebelumnya.

Perkataan Dokter Wildan membuatku sadar, bahwa didunia ini ada sebuah ketetapan yang sekalipun dihindari akan tetap terjadi.

Ialah Takdir.

Rezeki, jodoh dan Maut. Ketiganya ada didalam kata singkat berjuluk takdir. Kata Dokter Wildan, Takdir berbeda dengan nasip manusia. Keduanya memang sama-sama ketetapan Tuhan, namun perbedaannya terdapat jelas pada bisa atau tidak dihindari dan diupayakan oleh manusia itu sendiri.

"Kecelakaan yang terjadi pada Mama kamu, sama sekali bukan salah kamu. Tuhan yang telah mengaturnya, sekalipun saat itu Mamamu tidak pergi membelikan buku gambar yang kamu minta, kalau Tuhan memang menakdirkan saat itu akan terjadi kecelakaan yang dialami Mamamu, hal itu akan tetap terjadi."

Begitu kalimat panjangnya.

Tepat dua hari sebelum Mama meninggal, Dokter Wildan memintaku mengatakan sesuatu pada Mama. Ia membawaku ke ruang inap Mama yang dipenuhi oleh alat bantu medis.

Saat sudah berada disisi ranjang, Dokter Wildan menepuk pundakku. Memberikan seulas senyum yang mengisyaratkan untuk aku bisa tenang karena sebelumnya aku sangat takut dan gugup.

Aku menganggap diriku sebagai pembawa sial sejak 2 tahun itu, karena itulah aku tidak pernah mau bertemu orang lain selain Dokter Wildan dan Budhe Nani yang baik. Piko, bahkan secara terang-terangan memintaku untuk tidak mendekatinya.

Ia juga bilang bahwa aku pembawa sial. Dan karena itu, aku tidak pernah masuk kedalam ruang inap Mama. Aku hanya biasa melihatnya dari jendela kaca, aku takut kesialanku kembali menimpa Mama saat aku mendekat. Piko bilang juga begitu.

Dokter Wildan meninggalkanku, sendiri bersama Mama yang masih terbaring dengan mata tertutup juga suara alat pendeteksi detak jantung disebelah kami berdua. Aku merasa sangat hancur melihatnya begini, wajahnya pucat.

"Ma.." itu kata pertamaku dengan suara bergetar hebat.

Aku memutuskan untuk menggenggam tangan Mama, seperti yang Dokter Wildan bilang, aku harus bisa mengatasi ketakutan ini. Katanya, tidak ada anak yang terlahir sebagai pembawa sial, tidak ada anak yang terlahir sebagai anak nakal.

"Ini Anya, Ma.." Hening. Aku kembali melanjutkan. "Anya minta maaf. Anya nggak pernah benci sama Mama. Anya sayang sama Mama, sama Piko, sama Ayah juga."

Aku meneguk ludah, air mata ini perlahan membuat penglihatanku tak jelas, mataku berkabut. "Ma.." Panggilku, "Mama adalah surga terindah yang dititipkan Tuhan untuk kami jaga."

"Ma.. Maaf!!" Aku mencium tangannya sambil memejamkan mata. Membiarkan tetesan air mataku jatuh dengan derasnya. Hatiku nyeri, kepalaku berdenyut sakit. Tapi aku paksakan untuk mengatakan kalimat selanjutnya, "Anya ikhlas Ma.. Anya ikhlas kalau Tuhan minta Mama kembali ke pelukannya. Anya ikhlas.."

Setelah mengatakan kalimat --yang sebenarnya sangat susah aku katakan-- itu, aku melihat Mama menjatuhkan air mata dari sudut matanya. Aku tersenyum, karena Dokter Wildan benar, bahwa Mama mendengar ucapanku.

Aku mencium kening Mama setelah itu, "Anya sayang sama Mama. Tapi kalau Tuhan lebih sayang sama Mama, Anya mau ikhlas. Karena Anya yakin, Tuhan lebih tau dimana tempat Mama yang terbaik. Kata Dokter Wildan, Anya cuma perlu do'ain Mama yang terbaik"

2 hari setelah kejadian itu, Mama benar-benar diambil oleh Tuhan. Tuhan menyayangi Mama lebih dari kami, dan karena itu Tuhan memberi tempat terbaik untuk Mama. Dengan raga dipeluk tanah, sedangkan jiwa ada pada surga-Nya.

♡♡♡
.
.
.

Masalah waktu, dimana aku butuh untuk menyadari bahwa penyesalan memang tidak ada gunanya.

Masalah waktu, dimana Piko mungkin akan memaafkanku suatu saat nanti.

Waktu, masa lalu, dan kata sesal.

Benar kata Dokter Wildan.

"Masa lalu ada untuk kita memperbaiki diri. Untuk membuat masa depan tak lantas menjadi sesal semacam dulu."

Untuk kalian, yang saat ini masih diberi kesempatan oleh Tuhan. Untuk melihat bentuk malaikat tanpa sayap yang setiap pagi menyiapkan sarapan, yang senantiasa sabar dalam mendidik kalian, yang selalu memberi maaf sekalipun kalian tak pernah memintanya.

Berjanjilah padaku, pada Tuhan dan juga dirimu sendiri. Untuk terus menghormatinya dan jangan pernah menyakiti 'malaikat' itu. Karena selagi malaikat itu masih bisa kau sentuh wujudnya, kau masih ada kesempatan untuk menjaganya.

Sekarang jika malaikat itu ada disebelahmu, peluk dia. Jika malaikat itu ada di ruangan berbeda denganmu, hampiri dia. Namun jika malaikat itu telah kembali pada pencipta-Nya, mari teteskan air matamu. Rendahkanlah dirimu di hadapan-Nya, minta malaikatmu itu diberikan tempat terbaik di sisi-Nya.

Minta pada-Nya untuk menjaga malaikatmu, minta pada-Nya untuk membuat malaikatmu senang selagi kamu masih belum bisa melakukannya ketika ia berada disebelahmu.

Percayalah kawan, dan ketahuilah. Bahwa kehilangan paling menyakitkan adalah kehilangan IBU.

Karena itu artinya, kau akan kehilangan orang yang mengajarimu akan arti sejati dari kata cinta. Karena itu artinya, kau sudah kehilangan orang yang telah membawa surgamu di kedua telapak kakinya.

-END-

Perfume Regret (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang