Vian Hilang

113 15 5
                                    

Pukul sudah menunjukkan pada lima sore, tapi aku sedang tidak dirumah. Kali ini aku tengah berada disebuah tempat yang bagi sebagian perempuan dianggap sebagai surga. Aku menatap puas pada cermin dihadapanku dan juga pada tampilan baru rambutku. Dengan potongan rambut sebahu.

"Mbak makasi ya?" aku mengeluarkan uang dari dompet dan menyodorkannya kepada seorang perempuan yang lebih tua dariku.

"Sama-sama semoga puas ya mbak." jawabnya.

Setelah menyelesaikan pembicaraan, aku keluar dari salon. Salon tempatku memotong rambut adalah bukan salon mewah yang berada di mal-mal, hanya sebuah salon dipinggir jalan.

Aku berhenti sejenak dari aktivitasku--mengeluarkan motor matic-- dari parkiran yang berada didepan salon. Diseberang jalan depan salon, aku melihat sosok Vian tengah membeli minuman ion disebuah warung.

"Itukan Vian," gumamku sendiri. Rasa penasaran mulai menguasiku. Entah dari mana rasa ingin tau membuatku memiliki niat untuk mengikutinya.

Setelah menyalakan motor matic, aku langsung mengikuti Vian yang juga sama denganku menggunakan sebuah sepeda motor. Bedanya Vian menggunakan motor vespa. Vespanya bukan vespa masa kini tapi sebuah vespa lama, tidak terlihat buruk mungkin karena Vian sudah sedikit memodifikasi dan pandai dalam merawatnya.

Aku terus memperhatikan punggungnya yang berjarak beberapa meter dihadapanku, sampai membawaku masuk kesebuah gang. Gang yang tidak terlalu sempit, hanya cukup untuk masuk satu mobil. Tidak ada rasa panik atau kalut saat aku mengikutinya, karena aku yakin Vian tidak dapat menyadari ada aku dibelakangnya, vespa milik Vian tidak disertai dengan kaca spion.

"Oh jadi itu rumah Vian." aku memperhatikan Vian memasuki pelataran sebuah rumah yang tidak terlalu besar. Mungkin seperti rumah dengan beberapa petak. Namun pekarangannya cukup luas.

Mulutku tidak dapat tertutup saat tau siapa yang membuka pintu rumahnya. Aku melihat sebuah gadis dengan rambut panjang dengan senyum manis seolah menyambut kedatangan Vian. Dan bukan hanya itu, perempuan tadi mencium tangan Vian.

"Oh sial!" aku mengumpat dan langsung menutup kaca helmku, yang untung saja berwarna hitam saat Vian secara tidak sengaja menyapu pandang kesekeliling rumahnya sebelum akhirnya masuk bersama perempuan tadi. Dan menutup pintunya.

Bayangkan saja masuk kedalam rumah dengan pintu tertutup, bukannya apa-apa, hidup dikota seperti ini pasti saja ada pandangan negatif saat melihat seorang laki-laki dan perempuan berada dalam satu rumah dengan pintu tertutup.

Ya mungkin saja didalam rumahnya ada orang selain mereka, tapi tetap saja aku melihatnya yang seperti itu membuat pikiranku sedikit berfikir buruk.

*

Saat bel masuk sekolah berbunyi, untung saja aku sudah sampai sekolah. Untungnya juga ini bukan hari tugas piketku, dan untung yang terakhir adalah tidak ada tugas untuk pelajaran hari ini. Pagi ini aku telat karena alasan yang sebenarnya tidak masuk akal, semalam aku tenggelam dalam pikiranku, aku memikirkan Vian, perempuan itu, dan hal apa yang mereka lakukan didalam rumah. Bukan sesuatu yang penting sebenernya, tapi ya seperti itu. Aku penasaran.

"Ane udah sembuh?" aku menegurnya setelah sampai dikelas.

"Hai udah dong, ih lucu rambut baru." jawabnya dengan memegang rambut sebahuku. Mungkin alasan Ane berkata lucu karena rambut baruku dihiasi sebuah bandana yang ku bentuk pita. Mungkin ya.

Aku tidak menanggapinya, tapi yang membuat aku heran tas milik Ane berada dimeja paling depan, "ne, kok lo duduk sini?"

"Mulai sekarang gue duduk sini ya." suaranya terdengar semangat sambil mengetuk pelan meja yang kini didiklat sebagai tempat duduknya.

Dia Adalah VianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang