Marah

63 11 7
                                    

Aku berjalan bersisian dengan Vian menulusuri pelataran parkir rumah sakit. Dalam hati, aku memarahi kebodohanku yang seakan lupa akan keberadaan Evan, tadi aku langsung pergi bersama Vian menuju rooftop tanpa memperdulikan Evan. Sekarang aku tidak tahu apakah Evan masih berada dirumah sakit atau sudah pulang meninggalkanku. Karena tidak ada keberadaannya didepan ruang rawat inap ibunya Vian, juga ponsel Evan yang sedang berada diluar jangkauan.

"Kalo Evan pulang, biar gue yang anter." ucap Vian.

Aku mendecak, "ini masalahnya bukan gue pulang sama siapa."

Vian menoleh kearahku, meskipun kakinya terus melangkah. Seakan memintaku untuk meneruskan perkataanku.

"Masalahnya gue tadi lupa kalau ada Evan, gue ngerasa nggak enak. Niat gue kan mau makan sama dia."

"Jadi lo nyesel dateng kesini?"

"Nggak gitu." refleks tanganku mencengkram kaus Vian.

Vian mengikuti arah genggamanku pada kausnya, buru-buru aku langsung melepaskannya. Mataku menyapu pandang pada kanan-kiri, sama sekali tidak ingin menatap matanya.

"Nah itu mobil Evan."aku melangkah meninggalkan Vian menuju mobil Evan yang masih terparkir dengan pintu mobil bagian depan terbuka. Tidak tahu mengapa melihat mobil Evan yang masih terparkir membuatku sedikit bernafas lega. Mataku menangkap sosoknya sedang menyandarkan tubuhnya ke jok mobil dengan mata terpejam.

"Van?" panggilku.

Dia tidak menjawab. Matanya juga tidak sedikitpun terbuka. Entah kenapa, aku merasa Evan sedang tidak tidur. Aku menoleh pada Vian yang sekarang berasa disebelahku. Ia mengangkat alisnya, aku hanya mengerdikan kedua bahuku.

"Van? Evan?" kini giliran Vian yang memanggil.

Evan membuka mata disusul dengan mengusap wajahnya dengan gusar sebelum akhirnya bangkit dan berdiri di hadapanku dan Vian.

"Udah?" tanyanya.

Aku mengerutkan alis ketika mendengar nada Evan yang berbeda. Belum sempat aku dan Vian yang menjawab, Evan berkata setelah melihat jam di tangan kirinya, "udah malem, pulang la."

"Van, sorry." akuku padanya.

"Van, maaf kalo gue ngerusak acara lo sama Ola. Gue bener-bener nggak tau." Vian menambahkan perkataanku.

"Oke. Jadi sekarang lo berdua masih mau basa-basi apa gimana? Nanti gue yang dimarahin sama nyokapnya Ola nganterin dia malem-malem."

"Van..." lirihku, tapi laki-laki itu hanya menoleh sejenak sebelum akhirnya masuk kedalam mobil.

"Yaudah sana pulang, takut Evan makin marah."

Aku menatapnya seakan meminta pertolongan. Vian mengusap lenganku dan berkata "besok biar gue omongin ini sama Evan."

Aku mengangguk dan masuk kedalam mobil Evan setelah aku berpamitan dengan Vian yang masih akan tetap dirumah sakit.

Didalam mobil, keheningan benar-benar menyelimuti kami. Tidak ada yang bersuara, sekalipun tape mobil Evan. Aku masih takut untuk berbicara padanya, karena aku tau Evan sedang dalam keadaan emosi. Aku tau dari sikapnya yang berubah menjadi seperti ini.

Didalam hati aku berdoa agar jalanan malam ini tidak macet, aku tidak ingin berlama-lama didalam mobil Evan. Aku tau ini memang kesalahanku, tapi siapa juga yang nyaman dalam suasana seperti ini. Mau bicara takut salah, tidak bicara juga takut semakin salah.

Dan pada saat itu juga, aku bisa bersyukur karena doaku terkabul. Terbukti dengan kondisi jalanan yang tidak macet. Tapi tetap saja perasaanku saat ini sangat tidak tenang, meski sebentar lagi mobil Evan memasuki komplek perumahanku. Tali selempang tas yang kukenakan kugenggam erat berbarengan dengan mobil Evan yang berhenti didepan rumahku.

"Ayo, takut lo udah ditunggu nyokap bokap lo."

Aku menahan nafas dan mencoba mengurungkan niat Evan yang baru saja akan keluar mobil.

"Kenapa?" tanyanya.

"Sebentar." ucapku. "Van, bener deh gue minta maaf soal tadi. Gue tau gue salah, nggak seharusnya gue ninggalin lo gitu aja, tapi... tapi..."

"Tapi apa? Tapi Vian emang lagi butuh lo?"

Aku menggigit bibir bawah, tidak tau harus menjawab pertanyaan Evan yang memang benar adanya.

"Ya kan la?" tambahnya. "Gue tau lo suka sama Vian, tapi please seharusnya emang lo lebih peduli sama orang lain. Gue ngajak lo jalan kayak gini, bukan karena gue suka atau apa sama lo. Gue cuman mau menuhin janji gue waktu itu, buat ngajak lo makan di resto favorit kalau lo mau ikut lomba musikalisasi puisi.

"Lo mikir nggak gimana gue harus ngehargain keputusan lo buat ngebatalin makan, dan milih buat kerumah sakit? Tapi waktu di rumah sakit apa lo mikirin gue? Nggak perlu lah lo mikirin gue, apa lo inget sama gue?"

***

Dangggg! Emang cowok mah suka gitu, bersikap manis kirain suka. Nyatanya nggak suka. Kayak si Evan. Hahaha

13. 10. 2017
10.43 PM

Dia Adalah VianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang