Bunga yang ditinggalkan

40 7 0
                                    

Hari terakhir acara lomba dalam rangka 'membangun kebersamaan warga sekolah' jatuh pada hari ini, tentu dibarengi dengan pengumuman pemenang lomba dan acara pentas seni. Murid-murid dibebaskan dalam hal berpakaian, tanpa perlu mengenakan seragam muslim yang dikenakan pada hari jumat. Begitupun aku, aku hanya mengenakan kaus berwarna putih dihiasi dengan gambar burung hantu dan celana high waist bewarna biru telur asin. Rambut sebahuku kukuncir asal.

Mataku terus menyapu pandang halaman sekolah, mencari keberadaan Ane. Aku sudah berjanji dengannya untuk bertemu, meski sebenarnya aku tau pasti ia akan sibuk menikmati pensi dengan Fandi. Namun mataku tidak dapat menangkap keberadaan Ane, melainkan pada objek lain, yaitu Evan. Jantungku berdegup lebih cepat mengingat kejadian kemarin malam. Kakiku ragu untuk menghampirinya.

"Biar gue yang samperin dia ya." Seseorang menepuk pundakku, ada Vian yang aku tidak ketahui sejak kapan sudah berada disisiku. Aku hanya mengangguk.

Punggung Vian dengan yakin menghampiri Evan yang tengah bersandar seorang diri. Aku belum berani mengikuti langkahnya. Kulihat Vian sudah berbicara dengan Evan, dan Evan hanya mengangguk sebelum akhirnya menoleh kearahku dan melambai seolah memanggil.

"Van?" panggilku untuk meminta maaf setelah berada dihadapannya.

"Iya gue paham, Vian udah ngejelasin semuanya." Jawabnya sebelum aku mengutarakan apa yang ada dipikiranku untuk meminta maaf.

"Yaudah gue tinggal dulu ya, masih ada yang harus gue kerjain." Vian pamit dan meninggalkan kami. Ada rasa seperti kehilangan saat Vian mulai menjauh.

"Dia kayaknya suka deh sama lo La." Suara Evan menginterupsiku untuk menoleh kearahnya.

Aku tertawa kecil, "Ngaco lo ah!"

Evan hanya tersenyum kemudian mengalihkan pandangannya dariku. Beberapa saat tidak ada suara diantara aku dengannya, membuatku berpikir untuk mencari topik pembicaraan.

"Van, gue minta maaf ya..." gumamku tak yakin untuk membahas hal ini.

"Ah bosen gue dengernya, tadi Vian juga ngomong gitu." Jawabnya. Aku hanya mengangguk. "Btw kok bisa sih lo sama Vian deket begitu?"

Aku terdiam sejenak. Memikirkan jawaban seperti apa yang harus kukatakan pada Evan, karena aku sendiri tidak mengerti kenapa bisa sedekat itu dengan Vian.

--

Aku setengah berlari menuju toilet ditemani dengan Ane. Kupikir toilet ini akan ramai, nyatanya sangat sepi, mungkin karena banyaknya murid yang menikmati pensi dengan sekedar bernyanyi bersama didepan panggung, atau berloncat ria menikmati alunan musik yang menyentak-nyentak.

"Cepet lo!" perintah Ane yang berdiri di depan cermin. Aku mengabaikannya. Buru-buru aku menutup pintu bilik.

Suasana tenang dalam toilet berubah menjadi sedikit berisik karena kedatangan beberapa perempuan yang bisa aku dengar dari dalam bilik. Awalnya aku tidak memperdulikan, tetapi apa yang mereka bicarakan membuat perhatianku tertarik untuk mendengarkan pembicaraan mereka.

"Ter, itu serius bunga dari Vian?" suara perempuan yang tidak kukenal seolah menggema dalam toilet.

"Seriuslah, waktu lagu romantis tadi kan lo liat sendiri dia yang ngasih ini ke gue." kudengar suara Tere yang seakan membanggakan dirinya. Setelah mendengar ucapan Tere ada rasa yang membuatku tidak nyaman, rasa yang membuat dadaku seakan sesak, seolah seseorang yang sedang mengalami patah hati.

Kudengar suara ketukan dari pintu bilik yang membuatku tersadar jika masih ada Ane yang menungguku. "Sebentar."

Wajah Ane langsung menyambutku setelah kubuka pintu bilik. Mataku memastikan jika sudah tidak ada keberadaan Tere ditempat ini. Memang benar sudah tidak ada keberadaan Tere.

Dia Adalah VianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang