Minggu demi minggu berlalu. Bulan demi bulan berganti.
Di dalam ruangan temaram, Jace bangkit dari tubuh seorang perempuan dengan terengah. Pandangannya jatuh pada perempuan bayaran yang tampak begitu puas. Sementara dirinya rampak. Alih-alih merasa puas, rongga dadanya seakan hanya diisi oleh kekosongan. Karena memang dia tidak merasakan apa-apa. Pelepasan barusan tidak membawa sensasi yang berarti baginya. Dan ketika sudut matanya menangkap wajah si pelacur, kekecewaan seolah menikam dirinya. Dengan gerakan lamban ia memperbaiki letak celananya.
"Leave. Now!" Bentak pria itu pada si perempuan tuna susila.
Jace sempat melemparkan beberapa lembar dollar ke arah wanita yang belum sempat berpakaian itu sebelum berbalik dan meninggalkan kamar. Disusul suara pintu yang berdembam akibat dibanting terlalu keras. Tungkai panjangnya melangkah menuju teralis balkon sementara ia mulai menyulut rokok. Begitu tiba, segera dihisapnya lintingan tembakau itu dalam-dalam. Sejurus kemudian kepulan asap lolos dari hidung dan mulut Jace.
Lelaki itu mendesah pelan begitu merasakan angin malam dengan lembut menerpa wajahnya. Seharusnya dia merasa senang saat ini. Memenangkan balapan, memperoleh sejumlah uang dan mendapati seorang gadis yang menyerahkan tubuhnya tanpa diminta. Harus diakui, gadis yang tidak dia ingat namanya itu cukup cantik. Naluri binatang Jace pun sempat terusik oleh tingkah polah perempuan itu, hanya saja itu semua tidak berlangsung lama. Dahaga Jace yang tiada habisnya tidak juga terpuaskan akibat pergerumulannya tadi.
Setiap malam menjadi semakin berat, pikirnya. Dahulu ia menyukai seks. Menurut Jace seks dapat membuatnya merasa lebih hidup, sampai dia melepaskan seluruh hasratnya pada gadis kecil bernama Flo. Sejak saat itu Jace menyadari bahwa hasrat tak lagi tersisa pada dirinya.
Maka dari itu Jace hampir selalu menghabiskan malam dengan satu atau dua perempuan dengan harapan bahwa apa yang dia perkirakan salah. Namun setiap harinya ia justru semakin membenci seks.
Pria itu mengusap wajahnya dengan keras. Tidak seharusnya ia merasakan frustrasi sedemikian rupa hanya karena gadis yang belum lagi matang itu.
'Tapi, bagaimana seorang gadis yang belum matang dapat membungkus kejantananmu dengan mulutnya dan membuatmu senang karenanya?'
Sebuah erangan lolos dari mulut Jace.
Betapa ingin dia membunuh gadis itu karena telah menciptakan sebuah rongga kosong menganga lebar dalam jiwanya. Sudah enam bulan berlalu, tapi Jace belum bisa mengusir semerbak wangi stroberi yang menguar dari helai-helai rambut Flo. Dan yang paling menjengkelkan, tubuh Jace mendamba pancar kehangatan dari gadis itu. Ia bisa saja menyambangi rumah Flo, hanya saja itu bertolak belakang dengan prinsip yang ia anut. Jace tidak menemui seorang gadis, mereka yang harus datang padanya.
Dengan mata terpejam, laki-laki itu memutar kembali memori di mana dirinya mereguk Florette tanpa ampun. Tanpa diduga, adegan panas yang berkelebatan di dalam pikiran itu mampu membuatnya merasa lebih baik.
"Kawan, kau di sana?"
Refleks, Jace memukul teralis besi yang jadi tempatnya bersandar. Seseorang memanggilnya dari luar kamar.
"Jace! Aku butuh bantuan." Suara itu milik Shin.
Setelah menghisap dalam-dalam rokoknya, Jace beranjak dari balkon untuk menghampiri sang kawan. Kadang ia menyesal karena sudah memberi teman-temannya akses untuk masuk ke dalam kediamannya.
"Tunggu."
***
"Coba nyalakan. Ada lagi yang bisa ku bantu?" Jace menutup kap mobil bercat biru metalik milik Shin lalu menghela bulir keringat dengan punggung tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Against the Universe [ Slow Update ]
Romance( 18 + ) Keduanya ditakdirkan begitu berbeda. Florette, gadis rapuh yang hidup bergelimang harta dengan masa depan menjanjikan. Namun belum merasa cukup bahagia atas kehidupannya. Jace, pemuda sebatang kara pencinta hidup yang rela mempertaruhkan...