Part 2 - Meet The Crown Princess

95 6 2
                                    


(Still) New York, 2015

Florette menatap ke luar jendela kamarnya yang berhadapan langsung dengan East River. Mansion yang terletak di Kings Point, Long Island tersebut senantiasa lengang lantaran mereka hanya memiliki dua orang tuan rumah, dan belasan orang sisanya adalah pelayan dan pengawal yang bekerja bagi tuannya. Flo selalu kesepian, alih-alih bertandang di toko-toko ternama yang berderet di Lexington Avenue, Manhattan seperti teman-teman di kalangannya, ia lebih sering menghabiskan waktu di perpustakaan pribadi maupun perpustakaan-perpustakaan yang tersebar di seatoro New York City. Kadang ia akan menikmati panorama dari taman-taman kota seperti Brooklyn Park maupun Central Park yang mendunia.

Tak perlu dirinya turut menjelajahi toko-toko pakaian ternama, ia sudah punya jadwal rutin untuk berbelanja, yaitu di hari Jumat minggu kedua setiap bulannya. Hidup Flo sangat teratur, dan banyak di antara kawan-kawannya mengeluhkan hal itu. Namun Flo sendiri tidak ambil pusing tentang keluhan teman-temannya. Toh, mereka punya cara sendiri dalam bersenang-senang dan Flo masih bisa menghabiskan waktu bersama mereka setiap afternoon tea dan gala dinner bersama mereka.

"Florette?" Adrien Arceneaux mendorong daun pintu kamar putrinya agar terbuka hingga nampaklah figur mungil si anak gadis.

"Papa!" dengan riang Flo menghambur ke arah sang ayah, memeluk pria itu erat seolah benar-benar merindukannya.

"Miss me, sweetheart?" jemari Adrien mengusap helai pirang sang putri yang serupa dengan milik mendiang ibunya, Henrietta Arceneaux.

"Uh-umm," gumam Florette tidak jelas sambil membenamkan wajahnya di dada sang ayah.

"Pekerjaan bisa menunggu, makan sianglah bersama papa," Adrien menepuk puncak kepala Flo yang tengah menatap ayahnya dengan tatapan berbinar-binar.

"Aye, aye, captain!" gadis belia itu kemudian berdiri tegap dan melakukan penghormatan layaknya seorang prajurit pada komandannya.

Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada makan bersama orang-orang terdekatmu, begitulah yang Florette rasakan. Ia akan selalu menunggu ayahnya pulang terlebih dahulu atau bahkan menyeret pengurus rumah tangannya untuk makan bersamanya. Flo terbiasa sendirian tapi tidak untuk perihal makan. Meski Flo sering menganggap sang ayah tiran, gadis itu tetap mematuhi apa yang dikatakan ayahnya, merindukan pria itu setiap kunjungan kerja sang ayah terlalu lama, dan tidak bisa melewatkan waktu bersama ayahnya.

"Annie memasak makanan favorit Papa! Escargot!"

***

Malam menjelang, semburat oranye yang terlihat dari jendela kamar Flo perlahan memudar dan digantikan gemerlap lampu dari seberang teluk. Kings Point dan Sands Point membentuk sebuah teluk, Manhasset Bay. Ayahnya pergi tepat setelah makan siang singkat mereka selesai, bisnis di Burma tidak bisa menunggu seperti yang Adrien Arceneaux katakan. Sementara Florette terbiasa menunggu kegaduhan di dalam rumahnya namun tidak pernah ia temukan. Tenang selalu menjadi zona ternyamannya sementara ia selalu menginginkan keramaian yang sampai sekarang belum berani Flo pijak. Posisi yang ia ciptakan sendiri memang sedemikian rumit. Dengan dagu yang ia letakkan di lututnya Flo berdiam diri di tempat.

Sebuah ketukan pada pintu membuat gadis itu terperanjat. "Come in," ucapnya dengan volume sedang namun tegas.

Cato Henriques, pengawal yang paling Flo percaya karena sudah menemaninya sejak kanak-kanak, masuk ke dalam kamar gelap sang putri raja begitu saja. Dengan gestur kasual, ia menekan saklar lampu kamar tersebut yang lantas disambut dengan tatapan kesal sang empunya kamar.

"Jadi?" sebelah alis Flo terangkat menunggu kata-kata yang akan terlontar dari bibir Cato.

"Aku sudah mengaturnya. Dia akan berada di sini lepas tengah malam," Cato menepuk puncak kepala Flo menggunakan gulungan kertas foto.

"Kerja bagus," puji Flo seraya mengambil gulungan kertas tersebut dari tangan Cato. Beberapa lembar potret seorang pria. Kedua sudut bibir gadis itu kian terangkat menatap potret-potret tersebut.

"Apa kau yakin?" pria berusia awal tiga puluhan itu menatap Flo khawatir, layaknya seorang ayah kepada anak atau kakak kepada adik.

"Tentu. Dan...," jeda sejenak sebelum dara tersebut mengangkat wajah dan tersenyum pada Cato, "... aku tidak akan menyesalinya."

"Baiklah, dik. Kau harus berhati-hati," Cato mendudukkan dirinya di sofa yang ada di dekat jendela lalu matanya mengarah ke sungai.

"Terimakasih, Cato."

***

Jemari lentik Florette Arceneaux menggenggam gagang pintu yang akan menghantarkannya pada apa yang selama ini telah ia nantikan. Membuktikan kuasanya terhadap seorang oknum yang pernah menggores harga dirinya. Sepasang tungkai jenjang itu menggiring Flo ke dalam kamar bercat serba putih dan dengan bed cover putih pula, diikuti oleh desiran bagian rok dress yang ia kenakan.

Di hadapannya terlihat seorang pria yang kurang lebih seusia Cato dan memiliki postur yang sama-sama besar terikat di atas ranjang berukuran king size di tengah ruangan. Pria itu menatap nyalang ke arah Flo dengan kedua tangan yang berusaha melepaskan ikatan tersebut sekuat tenaga. Ada sedikit keterkejutan pada kilatan mata Jace yang Flo tangkap dan dengan mudah ia tebak, pria ini tidak percaya bahwa otak di balik semua penangkapan dan gagasan mengikat pria itu berasal dari seorang gadis kecil yang usianya bahkan belum mencapai seperempat abad. Bukan tipe Jace Rush.

'Gadis ini tidak asing,' pikir Jace ketika mengamati garis-garis wajah gadis muda yang tengah menghampirinya tersebut.

"Hai, ingat aku?" kedua kuasa Flo dikaitkan di belakang tubuhnya sementara ia melangkah semakin mendekati pinggiran ranjang tersebut. Seulas senyum kemenangan tergambar jelas pada wajah si gadis.

"Jalang."

- to be continued.

Terimakasih buat semuanya yang mau nyempetin baca tulisan yang jauh dari kata sempura.

See you next part! xoxoxo

Against the Universe [ Slow Update ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang