Part A (karena ia tak selembut sampul novel)

548 50 86
                                    

Setiap jiwa bisa cinta.
Karna cinta tercipta tanpa sebab.
Bahkan cinta orang buta saja bisa lebih baik daripada cinta orang sempurna.
Mungkin cinta buta, tapi tak sebuta orang menyebutnya.
Cinta bisa melihat dimana ia harus singgah atau pergi.

***

Empat bulan yang lalu adalah hari yang paling mengesankan di benak gadis berumur 17 tahun. Siapa lagi kalau bukan Dinda. Dia, seorang gadis yang belum mengerti pengertian cinta.

Yang sampai saat ini selalu terpengaruh hal-hal mengenai cinta. Walaupun itu sama sekali tidak ada benarnya.

Empat bulan yang lalu Dinda gadis udik di tembak oleh salah satu prince charming di sekolahnya, Fahmi. Orang yang Dinda sukai yang hanya sekedar cinta monyet, bisa merasakan hal yang sama seperti dirinya. Tak ayal jika banyak yang tidak tahu akan hubungan mereka berdua karena itu tersimpan begitu dalam. Hanya mereka dan Tuhan yang tahu.

Kisahnya kira-kira tanggal 21 April 2016. Saat hari kartini tiba, Fahmi memutuskan untuk mengungkapkan isi hatinya pada Dinda gadis kaku dan udik.

"Din, mungkin ini emang gak mungkin. Lo pasti gak bakal percaya apa yang gue alamin akhir-akhir ini. Gue jatuh cinta sama lo. Gue cinta karna tau, lo juga cinta sama gue. Lo mau kan jadi orang yang selalu bisa di sisi gue saat gue senang atau enggak??" Ujar Fahmi saat itu.

"Lo gak salah orang kan mi?" Tanya Dinda ragu. Ia masih kurang percaya akan hal yang dikatakan Fahmi barusan.

Fahmi mengangguk,
"Apa gue keliatan maen-maen?"  Ujar Fahmi lagi. Ruang olahraga begitu sepi. Karena siswa di SMA mereka sudah pada pulang.

"Jawaban lo apa Din?" Tanya Fahmi untuk yang kedua kalinya.

Tanpa ada keraguan lagi Dinda menunduk sambil mengangguk pelan. Fahmi terlihat sangat senang sekaligus sinis pada saat itu. Ada apa?

Sejak saat itu hubungan Fahmi dengan Dinda tambah dekat. Yang awalnya Dinda hanya sekedar kagum karena Fahmi sering mendapatkan penghargaan yang terbilang cukup banyak. Yang mungkin, baru merasakan jatuh cinta pada orang yang berkelas seperti Fahmi.

Pagi ini kebiasaan yang akut bagi Dinda. Lupa membawa topi untuk upacara setiap senin di sekolahnya. Sekolah besar, disiplin, penuh tata tertib, dan pastinya lebih elite.

"Duh, gimana nih han? Gue gak bawa topi lagi." Resah gadis itu menggigiti kuku jarinya. Sahabatnya, Jihan Andreani terlihat kebingungan.

"Udah empat hari lo dicatet poin cuma gara-gara gak bawa topi pas upacara. Lo gimana sih Din?" Gumam Jihan, kelingking kecilnya ia ketuk-ketukkan.

"Yaa, mau gimana lagi. Topi satu-satunya gue, udah gue jual." Jawab Dinda penuh keraguan.

Jihan melotot. Mata besarnya bagaikan ingin segera beranjak.

"HAH?! LO JUAL TOPI LO? BUAT APAAN?!?!" Seru gadis itu. Dinda langsung menutup telinganya. Ia tahu, Jihan memang rada-rada cerewet.

"Kemaren itu, ibu gue butuh uang Rp. 25.000,00. Nah, mumpung harga topi yang gue beli Rp. 27.000,00. Jadinya gue jual. Terus sisanya gue beliin es. Hehe.." Ujar Dinda.

"WHAT? Lo gila ya, itukan keperluan sekolah. Kenapa di campurin ke masalah keluarga?" Heboh Jihan, melompat-lompat dan langsung menjitak kepala Dinda.

"Iih.. gue gak ada pilihan lain han. Udah deh gak papa gue di strap lagi." Gumam Dinda, dengan lesuh ia dan Jihan berjalan keluar kelas.

FahmiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang