part C (amarah yang ke seribu)

174 12 1
                                    

Setidaknya amarahmu yang selalu kurindukan setiap saat :)

-Fahmi-

***

Kali ini, Fahmi datang ke kamarnya dengan keadaan suram. Wajahnya amburadul. Penuh kekesalan. Kali ini, bukan soal Dinda lagi. Tapi Mark. Lelaki yang sudah sebulan menjadi ayah tirinya itu.

Memar membiru di pipi kanannya tak bisa ia sembunyikan lagi. Baru kali ini ia benar-benar bisa melampiaskan amarah yang selalu ia pendam sebulan ini pada Mark.

"Sialan!" Umpatnya, kesal.

Tangan kanannya ikut membiru karena menghantam Mark habis barusan.

Jika saja Tissa, ibu semata wayangnya tak menahannya. Pasti bukan hanya biru di tangannya, melainkan cairan merah kental di setiap ujung jarinya.

Selama ini Fahmi sudah bersabar menghadapi sisi gelap Mark yang menjengkelkan. Tapi tetap saja, batas kesabaran manusia terbatas.

Saat itu juga wajahnya mengangkat keatas. Fahmi mulai sempoyongan. Dua pukulan Mark tadi, cukup membuatnya kehilangan keseimbangan.

Drrtt! Handphone Fahmi mulai bergetar. Notifikasi pesan asing, masuk begitu saja.

Chat

+628135*****72
(Nomor tak dikenal)

Fahmi, makasih yaa tadi.
Gue seneng lo bisa belain gue.

Dengan antusias, ia mulai mengingat nomor siapakah ini? Dan hap! Ia mulai mengingatnya. Ini nomor handphone milik Dinda.

Fahmi baru ingat kejadian sebelum amarahnya memuncak tadi. Ia, ia tadi membela Dinda di hadapan Mawar.

Fahmi memang begitu. Ia tak pernah menyimpan nomor yang tak pernah ia kenal. Apalagi Dinda. Entah mengapa dia sangat membenci Dinda. Padahal, Dinda itu pacarnya bukan?

Fahmi akhirnya tak acuh melihat pesan itu, lalu melempar begitu saja handphonenya di kasur. Ia hanya memperdulikan kondisinya sekarang yang masih penuh kekesalan, amarah, rasa sakit hati, bercampur kepalanya yang tak bisa diajak kerja sama.

Perlahan, tubuhnya mulai terhempas ke kasur. Lalu terlelap begitu saja.

***

Dinda merengut. Wajahnya yang polos seakan tak memberi isyarat apa-apa lagi. Ia tahu, bahwa pesan-pesan yang dikirimkannya ke Fahmi, pasti 'takkan' membuahkan hasil.

Dengan tergopoh. Ia kembali menaruh handphone miliknya di atas meja yang penuh dengan tumpukan buku fisika, besok Selasa ujian Fisika di kelasnya, jadi ia harus betul-betul fokus.

Tangannya kembali meraih pulpen di depannya. Mengambil sebuah buku bersampul kardus, dengan tali sebagai pengaitnya. Di depan sampulnya terdapat stiker huruf, bertuliskan 'Dinda's book'. Yaa, setidaknya ia bisa membuat buka harian tanpa membelinya bukan?

Hai diary!

Hari ini, lagi-lagi dia melakukan hal yang betul-betul berbeda dari biasanya. Aku heran aja kenapa dia bisa melakukan hal di luar nalar kayak tadi.

FahmiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang