Suara tembakan, ledakan, dan jeritan mengerikan sudah tak asing lagi bagi gadis remaja berumur 16 tahun ini. Reyna. Half-Island diserang oleh pasukan militer yang barbar. Entah atas dasar apa mereka menyerang pulau ini, tempat Reyna berada sekarang.
Reyna bukan masyarakat asli Half-Island, ia datang ke pulau ini untuk menghabiskan masa liburan musim panasnya, di rumah paman dan bibinya. Dan liburannya diisi dengan kengerian akibat peperangan.
Karena penyerangan yang mendadak ini, banyak penduduk pulau yang pergi mengungsi entah kemana, disandera, ataupun ikut berperangan namun berakhir sia-sia.
Meskipun demikian, ada juga yang masih bertahan di dalam rumah masing-masing, salah satunya Reyna. Memang bukan tempat yang efektif untuk bersembunyi, karena ulah para penjajah yang makin hari makin brutal dan mengakibatkan penduduk yang tinggal di pulau ini makin lama makin sedikit. Ia tak dapat lari.
Reyna masih tinggal di dalam rumah bersama paman dan bibinya meskipun ia tau bahwa tinggal menghitung hari mereka bakal ditemukan. Bersembunyi di tempat yang aman adalah hal penting yang mesti mereka lakukan.
Saat ini, mereka sedang bersembunyi di bawah meja makan dengan taplak di atasnya guna menutupi tubuh yang sedang bersembunyi di bawahnya. Tempat persembunyiannya berjarak 5 meter dari pintu masuk.
Di atas meja tidak ada makanan, yang mungkin dapat membuat penjajah yang masuk ke rumah berpikir bahwa tidak ada orang di rumah ini, untuk mengelabuhi penjajah yang tiba-tiba saja masuk ke dalam rumah.
Cuaca kali ini sangat mendung, yang rasanya aneh mengingat bahwa ini merupakan minggu pertama musim panas.
Dari dalam rumah, Reyna dapat melihat api berkobar di luar sana disertai dengan suara-suara memberontak, melolong kesakitan, menangis, juga mengancam.
Hujan mulai turun dengan derasnya. Perlahan memadamkan api yang berkobar di luar sana. Guntur menggelegar, seolah-olah murka akan ulah para penjajah. Namun suara guntur itu dibalas dengan suara ledakkan yang lebih memekakkan.
Granat dilemparkan, senapan ditembakkan. Membuktikan kesungguhan mereka untuk membantai penduduk disini.
Apa itu termasuk dirinya? Reyna tidak tau.
Perasaannya was-was, tentu saja. Kita tak pernah mengerti apa yang akan direncanakan musuh saat peperangan 'kan? Rasa takut mengguncang Reyna. Ia tak takut dengan bedebah-bedebah itu. Ia hanya takut... kehilangan, kehilangan orang yang Ia sayangi.
"Tenanglah, Reyna" ujar Paman Reyna yang berada di sampingnya, seolah-olah merasakan kegelisahan yang mengguncang diri Reyna, "kita aman disini."
Kata-kata pamannya membuat Reyna lebih tenang meskipun pamannya juga terlihat gelisah seraya memindahkan posisi sarung pisau di tangannya, yang belakangan ini sering dibawanya untuk berjaga-jaga jika ada penjajah yang masuk.
Sejak mulainya peperangan, belum ada satupun penjajah yang masuk ke dalam rumah tempat Reyna bersembunyi, jadi apa yang harus dikhawatirkan? Selama mereka bersama, ia merasa aman. Ia hanya bisa berharap mereka tak akan terpisahkan akibat perang ini.
Mendadak, 5 meter di depan, pintu terbuka, menampakkan bayangan seseorang yang besar, tinggi, kekar, dan senapan tersampir di punggungnya.
Penjajah?!
Reyna yakin bahwa orang itu pastilah salah satu pembantai di sini, tak diragukan lagi. Reyna harus berjuang untuk tidak berteriak, menghindari terjadinya bunuh diri.
Orang itu mungkin belum mencurigai adanya Reyna beserta paman dan bibinya di bawah meja karena mereka masih belum menyerang atau mulai menggeledah rumah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret
PertualanganMereka bertemu. Mereka berjuang bersama, melarikan diri dari pulau itu.