6. Tanpa Alwan 3 hari

26 2 0
                                    

"Wise man said,
Only fool rush in,
But i can't help,
Falling in love,
With you...."
(Elvis P - Can't help falling in love with you)

*******

Entah berapa kali Alwan menghubungi dan memberi pesan singkat pada gadis itu. Devi mengatakan bahwa Jasmine harus pergi ke Australia untuk mengerjakan beberapa hal. Alwan merasa kecewa mengapa Jasmine tak memberinya kabar sebelum ia menyadari Emang gue siapa dia?

Alwan melirik jam keberangkatan yang tertera pada layar monitor. 16.20 Ia melirik jam tangannya 16.00 dengan melihat itu ia memastikan Jasmine sudah boarding dan berada di ruang tunggu. Pikirannya kacau, ia merasa kehilangan.

Pria berbaju putih itu merasa ada sesuatu yang membuatnya kehilangan gravitasi, kepalanya terasa berat sampai semuanya menjadi gelap.

****
 

Sepertinya langit berduka, awan murung, buktinya saja senja jingga diatas sana meneteskan air matanya. Hujan.

Ku akui memang berat meninggalkan Indonesia, tanah air beta. Tapi menurutku, menjadi designer adalah mimpiku. Dan aku baru saja akan memulai mimpi itu di sini, di Sydney dengan segala khas modern ala barat yang memenuhi sudut kota.

Bagaimana dengan Alwan? Bahkan aku tak memberinya kabar. Menurutku, aku benar benar harus melupakan apa yang ada disana, termasuk Alwan. Ini sudah kumantapkan dari beberap hari yang lalu.

"Jasmine!"

"Arnold, lo Arnold kan?"

"Iya Jasmine, kamu masih ingetkan sama aku?" ujarnya sambil terkekeh.

"Ingatlah, lo ada ada aja..." balasku dengan senyum merekah.

"Kamu laper gak? Gimana kalau kita makan dulu, setelah itu kita ke homestay yang udah kamu bilang di chat kemarin" ujarnya dengan kerlingan mata.

"As you please captain..."

****"

"Ar, thank's yah udah bantuin gue beres beres, gue jadi ganggu kerja lo deh"

"Ah santai aja kali Min, kek sama siapa aja, kebetulan juga kan saya emang lagi free hari ini jadi bisa ketemu sama kamu, sekalian quality time bareng." katanya santai.

Ia kemudian meneguk segelas Moccachino yang kubuat untuknya. Aku sempat membeli sachetannya di minimarket depan home stay ku tadi.

"Pokoknya kalau kamu butuh bantuan saya bilang aja, saya tinggal gak jauh dari sini kok." ujarnya sambil melipat lengan kemejanya.

"Eh iya,"

Arnold Abrata Vino. Yang notabennya adalah teman sebangku ku saat aku dibangku SMA. Ia orang yang tampan, pintar, smart dan berwawasan luas. Terakhir bertemu dengannya saat liburan akhir tahun lalu, ia kebetulan datang ke Indonesia dan kami bertemu.

Profesinya sekarang adalah sebagai seorang enginering di salah satu maskapai penerbangan di Australia.

"Kenapa liatin saya gitu banget?" katanya mengangkat sebelah alisnya.

"Lo mirip sama... Siapa yah gue juga bingung..." entah diracuni apa menatap wajah Arnold berhadapan seperti ini rasanya tidak asing
Ah aku baru ingat, Alwan tatapannya memang tak seteduh Alwan tapi aura yang dibawa Arnold sudah cukup melebihi Alwan.

Ngomong-ngomong tentang Alwan, Apa kabar dia? Ini sudah 2 hari sejak aku tak bertemu dengannya.

*****

Aku menutup pintu, sesudah melambaikan tangan kepada Arnold. Ia harus pulang malam itu, karena ada schedule sekitar pukul 3 pagi. Pekerjaannya itu sungguh tak kenal waktu.

Apakabar Alwan? Aku merindukanmu sungguh. Pergi tanpa memberimu kabar membuatku merasa sangat berdosa. Apalagi hari itu tepat saat kau ingin menjemputku, untung saja saat itu kau membatalkannya. Jika tidak? Maka salam perpisahan itu kuucapkan secara gamblang padamu.

Yang ku tahu kita tidaklah sama sama siap mengucapkannya.

Aku mengecek ponselku, pantas saja tak ada pesan masuk atau panggilan telepon. Aku baru saja mengganti nomor teleponku menjadi nomor sini.

*****

"Jasmine gak ngomong sama kamu Wan?" ujar wanita paruh baya kepadaku sambil menyuguhkan secangkir teh.

"Gak ada tan, saya baru tau Jasmine pergi tadi malam" wanita paruh baya itu hanya menggeleng.

"Jasmine bener bener yah..." aku habya tersenyum tipis.

"Boleh minta alamat Jasmine disana tan?"

****

Aku menghirup udara Sydney pagi ini dengan tenang. Sangat berbeda dengan dijakarta, polusi menyeruak dihidungku. Disini sangat tenang. Tapi tidak hatiku.

Aku menyetop Taxi yang lewat lalu masuk kedalamnya, merogoh kantungku lalu memberikan secarik kertas. Sopir taxi itu hanya mengangguk lalu mulai melajukan kendaraan.

Wise man said...
Only fool rush in...
But i can't help...
Falling in love...
With... You...

Like a rivers flow...
Darling so it goes...
Something,
Are mean to be...

Take my hands...
Take my whole life too...
But i can't help...
Falling in love with you...

Lagu Elvis menjadi pengiring sunyiku, headset yang bertengger ditelingaku tak henti hentinya memperdengarkan lagu romantis sepanjang masa bagiku.

But i can't help....
Falling in love....
With...
You....

Genjrengan gitar itu menghentikan lagu dan laju mobil ini disaat yang bersamaan. Aku baru saja tiba di depan Homestay bernuansa sedikit gaya Europe. Aku membayar taxi lalu turun sambil membawa koperku.

****

Pagi ini jadwalku tidak kemana mana sungguh. Aku melirik jam yang menunjukkan pukul 10.00. Mungkin aku hanya akan membereskan kamar ini dan membeli beberapa bahan makanan.

Ting nong... Ting nong...

Arnold? Apakah Arnold bertamu sepagi ini? Rasanya tidak, apabila ia kerja jam 3 pagi tadi aku yakin ia mungkin baru saja usai dan akan beristirahat. Lantas siapa?

Aku mengabaikannya. Mungkin hanya anak tetangga yang usil menekan bell. Buktinya tidak ada lagi bunyi bell itu untuk beberapa saat.

Aku menyusun baju dari koperku ke lemari pakaian yang berada disebelah ranjangku.

Ting nong.... Ting nong....

Bell itu bunyi lagi? Berarti memang benar ada orang disana. Aku berjalan menuju pintu mengintip dari lubang kecil dipintu.

Kakiku melemas rasanya seluruh rangka ditubuhku hilang.

****

Temporary HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang