Apakah ujung dari tawa selalu bahagia? Bahkan langit berawan pun belum tentu akan hujan.
Afraine, Agustus 2017.
***
Terpaku.
Gadis dengan rambut lurus sebahu menatap pemandangan yang sedang terpatri di hadapannya dengan rahang terjatuh, mata membulat penuh dengan binar-binar ketidakpercayaan. Pada seseorang di sampingnya, gadis itu menoleh dengan pandangan kagum.
"Kamu, dari mana kamu tahu tempat sebagus ini, El?" katanya bertanya, manik cokelat terang miliknya menatap wajah pada seseorang pria yang dipanggilnya El itu.
Sementara El mengulas senyumnya, hatinya dilingkupi perasaan lega luar biasa saat tahu gadis kesayangannya ternyata menyukai kejutan kecil darinya.
"Rahasia. Gimana, kamu suka?"
Gadis itu membalas dengan anggukkan. "Aku bahkan belum pernah ke tempat seindah ini, El," gumamnya dengan pandangan tak lepas dari sebuah genangan air yang biasa orang sebut danau itu.
Raine Zevannya, gadis itu tidak sepenuhnya membual. Dia memang belum pernah pergi ke tempat-tempat bagus seperti ini. Hari-harinya hanya berada dalam lingkaran; rumah, sekolah, dan tempat private. Hanya itu, tidak lebih. Jadi saat Elgan—pacarnya selama setahun, mengajaknya pergi jauh dari penatnya suasana Ibu Kota, tentu saja Raine tanpa babibu menyetujuinya.
Pada wajah pria khas asia tersebut, Raine lantas mengulas senyum. "Kamu tahu, El? Rasanya, aku akhir-akhir ini selalu dilingkupi kebahagian. Tapi di balik rasa bahagia yang berlebihan itu, aku takut kalau nantinya ini semua tiba-tiba berakhir."
Raine mendesah kemudian melanjutkan kembali ucapannya. "Bukannya yang namanya berlebihan itu nggak bagus? Aku takut aja, kalau ternyata kebahagiaan yang datang ini adalah awal dari kesedihan. Aku takut kamu tiba-tiba pergi dari aku, bawa semua rasa bahagia ini."
Raine tidak tahu darimana asal muasal rasa takutnya itu, yang jelas ketakutan-ketakutan yang barusan ia katakan memang benar sedang ia rasakan akhir-akhir ini. Kebahagian yang datang betubi-tubi membuatnya berpikir kalau suatu saat Tuhan juga dapat mengambil itu semua darinya. Raine hanya takut terlalu terbawa oleh perasaan bahagianya hingga ia lupa kalau Tuhan juga menciptakan yang namanya kesedihan.
Bukankah Tuhan memberikan kebahagiaan dan kesedihan dalam hidup selalu seimbang? Tidak ada kebahagiaan yang datang tanpa kesedihan di dalamnya, dan tidak ada kesedihan terus-menerus tanpa ada kebahagian yang menanti di ujung sana.
Mendengar itu, Elgan tersenyum hangat. Sebelah tangannya ia gunakan untuk mendekap tubuh mungil kekasihnya. "Pemikiran kamu nggak salah, Raine. Tapi, nggak ada salahnya kamu bersikap berbaik sangka sama semesta. Satu hal lagi, aku juga nggak akan tiba-tiba pergi dari sisi kamu, Raine. Kamu itu gambaran besar dari masa depanku. Lalu, apakah aku bisa pergi gitu aja?"
Elgan mengatakan hal barusan dengan lancar, jika orang yang baru mengenalnya dan mendengar ucapan pria itu, Raine yakin orang itu akan mengira kalau Elgan sedang membual. Tetapi sejak setahun ini, Raine mengenal kalau Elgan bukan tipe laki-laki seperti itu. Raine membalas ucapan pria itu dengan senyuman lebarnya dan lantas mengeratkan dekapannya dengan Elgan.
Pada seruan burung-burung yang berkicau memeriahkan suasana, juga pada hamparan air yang menggenang membawa damai, Raine ingin sekali waktu berhenti saat itu juga. Dia sangat tidak rela untuk beranjak meninggalkan kursi yang ia duduki menghadap danau seraya menatap semburat oranye yang baru saja menghilang dari pandangannya.
"Sudah mau gelap, kita pulang, ya?" ujar Elgan pelan. Raine hanya mendesah kasar, menatap senja sore itu sekilas kemudian mengangguk kepada Elgan.
Ada persamaan yang dapat Raine simpulkan antara Elgan dan senja sore itu, sama-sama indah. Tapi hatinya berharap Elgan tidak sama seperti senja sore itu, datang sekejab mata kemudian menghilang. Raine sama sekali tidak menginginkan hal itu.
Raine masuk ke dalam mobil saat Elgan seperti biasanya, membukakan pintu untuknya. Salah satu perlakuan manis Elgan yang ia suka. Tapi sebelum pintu mobil benar-benar tertutup, Raine melihat ada penjual gulali di seberang jalan. Ia lantas menoleh, menatap Elgan dengan senyuman lebarnya. Elgan yang mengerti setelah melihat kemana pandangan Raine pun mengangguk menyetujui.
"Tunggu sini, ya, aku belikan dulu." Elgan pun menutup pintu mobil dan beranjak menuju penjual gulali tersebut.
Raine terus menatap pada tubuh tegap itu dari kaca depan mobil, tetapi netra cokelat Raine membulat saat melihat tak jauh dari arah berlawanan sebuah motor melaju dengan kecepatan tinggi menuju arah Elgan. Lalu, jeritannya keluar saat melihat tubuh orang yang disayangnya itu terpelanting jauh dengan nahas.
Raine segera berlarian menuju tubuh Elgan yang sudah terkapar dengan banyaknya orang yang mengelilingi. Dia lantas meringsek maju untuk membelah kerumunan, air matanya seketika lolos saat melihat tubuh dan wajah bersimbah darah di hadapannya. Dia lantas bersimpuh dan menopang tubuh Elgan dengan kedua kakinya yang tertekuk.
"El..." panggil Raine pelan, bibirnya sudah kelu. Suaranya pun seperti tertahan di pangkal tenggorokan dan hanya dapat merasakan kedua pelupuk matanya memanas dan mulai basah. Pada wajah yang saat ini malah mengulaskan senyum manis untuknya, tubuh Raine membeku.
"Raine, jangan nangis, oke? Harus jadi perempuan kuat, ya." Raine menggeleng saat Elgan berusaha untuk melanjutkan ucapannya. Ia lantas berusaha untuk mengangkat Elgan dengan dibantu oleh beberapa orang di sana. Tetapi tiba-tiba tubuhnya ikut lemas saat mendengar lanjutan dari ucapan Elgan.
"Aku pamit ya, sayang."
***
"NGGAK EL! NGGAK BOLEH!!" Raine membuka matanya, deruan napas tidak beraturan terdengar dengan jelas, dan peluh sudah membanjiri seluruh wajahnya. Dia menatap sekitarnya dan mengembuskan napas lega, untung cuma mimpi.
Dia lantas melirik jam di meja yang baru menunjukkan pukul dua dini hari. Pikirannya melayang pada mimpi yang baru saja dialami, sungguh itu terlihat seperti kenyataan. Mengerikan. Raine bahkan baru menyadari kalau kedua matanya basah dan sepertinya ia menangis ketika tidur tadi. Memikirkan mimpinya, Raine langsung mengingat Elgan dan tanpa waktu lama dia mengambil ponselnya dan menekan nama Elgan dari kontaknya.
Panggilan pertama sampai ketiga tidak juga dijawab. Raine masih terus mencoba sampai akhirnya suara serak Elgan memenuhi gendang telinga, membuatnya bernapas lega.
"El aku mimpi buruk!" ujarnya alih-alih mengucapkan sapaan.
"Mimpi apa?" sahut Elgan di ujung sana yang terdengar sangat pelan.
"Aku mimpi kamu ninggalin aku. Sumpah, aku takut banget, El," ujar Raine mengadu, ia mendengar suara embusan napas Elgan disertai tawa pria itu.
"Itu cuma mimpi, sayang. Kamu belum doa kali pas mau tidur."
"Aku udah doa, El. Tapi mimpinya kayak kenyataan. Kamu nggak akan ninggalin aku kan?" tanya Raine dengan suara frustasi, jika orang lain melihat wajahnya sekarang pasti langsung tahu kalau ia habis bermimpi buruk.
Raine mendengar Elgan di seberang sana tertawa lagi. "Emang apa alasan aku sampai ninggalin kamu? Dengar Raine, kamu itu hidup aku, jadi gimana caranya aku hidup kalau aku jauh dari kamu. Udah, kamu tidur lagi aja, anggap kamu nggak pernah mimpi kayak tadi. Night, princess."
Raine mengembuskan napasnya kasar.
"Night, El," jawabanya kemudian mematikan panggilan. Sedikit merasa bersalah karena sepertinya ia menganggu tidur Elgan malam ini. Dia mencoba berpikir jernih sekali lagi. Mencoba mengenyahkan berbagai pemikiran buruk yang sedang berputar-putar di kepalanya. Lantas Raine mencoba kembali memejamkan kedua matanya perlahan-lahan untuk kembali tidur.
Semoga saja, semoga ini hanyalah bunga tidur yang tak memiliki arti apa-apa. Tersebab, Raine tidak siap bila harus kehilangan Elgan. Ini adalah jatuh cintanya yang paling berharga juga paling bahagia, sebab; dia jatuh ke dalam lautan cinta yang tidak sendiri, melainkan berdua.
***
Published 17/07/2017
Revisi 04/05/2020
▪︎Kcgdisko
KAMU SEDANG MEMBACA
1.3 | AFRAINE ✔
Novela Juvenil[Sudah selesai▪︎ beberapa part dihapus karena pindah ke Innovel/dreame] ❝My heartbeat that brought me to you.❞ Raine dikejutkan oleh menghilangnya Elgan tanpa alasan. Ia begitu kecewa dan terluka. Lalu, sosok misterius bernama Afkar datang dalam hid...