Sebuah mobil melaju dengan kecepatan sedang, jalanan sore ini terlihat cukup renggang dari biasanya. Angin sejuk keluar dari pendingin mobil, Kavin kemudian menaiki gigi mobil yang ia kendarai.
Dirinya tadi sudah mengantarkan Alysa pulang, dan sekarang giliran dirinya yang harus pulang kerumah. Radio yang terpasang mengeluarkan lagu berjudul Lay Me Down.
Kavin menghembuskan nafasnya, matanya masih tertuju ke depan jalanan sana. Mobil yang ia kendarai masuk ke dalam sebuah perumahan kota, sudah beberapa tahun perumahan ini menjadi tempat tinggal bersama bundanya.
Mobil berwarna hitam memasuki perkarangan, mobil itu berhenti saat di rasa sudah berada di posisinya. Kavin menarik rem tangan, ia mengambil tasnya yang ada di belakang dan kemudian bergerak keluar.
Suara mobil terkunci terdengar saat Kavin mengunci mobilnya lewat kunci mobil yang ada ditangan. Ia berjalan memasuki rumah, suasana sepi menyambut kala Kavin membuka pintu masuk rumahnya.
Sepi dan sunyi itulah kesan yang pertama diterima saat masuk ke dalam, layaknya tidak ada kehidupan yang hidup di sana. Kavin meneruskan jalanya, bundanya belum pulang bekerja padahal Kavin sudah melarang bundanya bekerja.
Kavin memasuki kamarnya, melemparkan tas ke meja belajar ia membuang badanya ke tempat tidur. Nuansa kamar Kavin begitu polos, hanya dinding bercat abu abu saja yang tetap menciptakan kamar itu hidup.
Bosan tidak ada yang bisa Kavin lakukan sekarang, mengajak teman bermain pun rasanya susah, karena Rendi yang Kavin punya sebagai teman. Inilah jika dirinya sangat anti bersosial, tidak ada satu orang yang bisa ia ajak untuk berkomunikasi atau bermain.
Kavin pendiam tapi sekali-nya berbicara ia malah membuat lawan bicaranya jatuh karena ucapannya itu. Belum lagi dirinya yang temperamental, ia pernah menghajar teman seangkatannya hingga babak belur yang menyebabkan dirinya di skors selama tiga minggu. Beruntung tidak dikeluarkan.
Memejamkan mata yang Kavin lihat hanyalah gelap, tidak ada cahaya sama sekali. Sebersit kenangan muncul membuat ia membuka mata, nafasnya terengah engah seperti sehabis lari.
Tangannya mengusap rambut kepala kebelakang, deru nafas yang tadi memburu mulai lenyap, dirinya sudah mulai tenang.
Tak percaya jika bayangan itu kembali, Kavin tak mau menyangkal jika bayangan itu masih ada dalam dirinya tapi kenapa saat sudah hampir tiga tahun bayangan itu kembali.
Bundanya pernah membawa Kavin ke psikiater karena dirinya yang mengurung diri selama berminggu minggu. Bundanya takut Kavin mengalami hal yang nantinya akan membuat Kavin melukai dirinya sendiri.
Masa lalu memang pantas dilupakan, tapi apa salahnya jika kita menjadikannya sebagai pelajaran. History is the best teacher, begitu pun pepatah mengatakannya.
Menatap langit kamar tangan Kavin mulai terentang, dirinya sudah tenang kembali walau deru nafasnya masih belum berjalan normal. Langit mulai berubah warnanya menjadi orange.
Senja nampaknya mulai menunjukan dirinya di langit sore. Terlihat sebuah warna indah disana, orang biasa menyebutnya magic hour, warna indah yang muncul di waktu tertentu.
Kavin bangun, dirinya berjalan melewati meja belajar yang disana terdapat bingkai foto dirinya bersama ayah dan bundanya. Kavin tersenyum kecut, jika mengingat itu.
~~~~~
Suara mobil terhenti saat Kavin menuruni tangga, bundanya itu baru saja pulang dan Kavin berniat membuka pintu dan menyambut. Kavin berjalan mendekat, di buka pintu rumah.
Terlihat disana wanita yang sudah berumur kepala empat, wajahnya masih sedikit memuda, rambutnya pun masih hitam legam, tidak ada uban yang terlihat.
Kavin mencium tangan bundanya, kemudian mempersilahkan masuk kedalam. Ia berjalan dibelakang bundanya, mengikuti langkah kaki bundanya itu.
"Bunda memangnya sudah sembuh?" tanya Kavin dibelakang.
"Udah sayang, kamu memangnya ngga lihat Bunda mu ini sudah seperti Wonder Women saja."
Kavin tersenyum simpul.
"Udah minum obatnya?"
Desi berhenti bergerak, membalikan badannya kemudian memegang pundak Kavin sambil tersenyum Desi berkata, "Udah, Bunda udah minum obatnya."
Lega karena bundanya tidak melupakan meminum obat. Bundanya mempunyai penyakit dan Kavin mengetahui rahasia itu saat dirinya kelas dua SMA, bundanya mempunyai Kanker Rahim, dan sekarang obat itu yang membantu mencegah Kanker itu berkembang.
"Jangan sakit lagi," ucap Kavin pelan. Desi mengangguk tersenyum, ia senang anaknya begitu perhatian kepada dirinya.
"Yaudah Bunda sekarang istirahat aja."
Desi mengangguk, "Iya, Bunda istirahat dulu ya."
Kevin mengangguk.
Desi berjalan meninggalkan Kavin diruang tamu. Menatap punggung bundanya yang berjalan jauh Kavin menghela nafas, dirinya berjalan kearah sofa yang ada diruang tamu.
Menatap kosong, pikiran Kavin melayang, bagaimana pun obat yang diminum bundanya tidak akan bisa membunuh Kanker itu.
Ia tidak ingin kehilangan bundanya.
Malam ini, Kavin yang memasak, dia sudah memasak masakan yang sehat untuk bunda. Tidak terlalu banyak bumbu MSG dan minyak goreng.
Makanan itu kini sudah siap dimeja makan, asap masih mengepul menandakan makanan itu masih panas. Kavin memanggil bundanya, ia ingin bunda cepat makan karena Kavin yakin bundanya belum makan lagi sejak makan siang.
"Hm harum sekali, kamu yang masak?" Desi menghirup harum dari masakan Kavin, ia senang anaknya memanjakan dirinya.
"Iya, Bunda makan dulu ya," Kavin menyuruh Desi duduk dikursi yang dia siapkan.
"Sini Bunda ambilin, kamu mau apa?"
Menunjuk beberapa menu makanan, Desi mulai mengambilkan lauk pauk itu untuk Kavin. Kavin senang tapi ada yang kurang, ayahnya yang tidak hadir.
Mereka berdua mulai memakan makanan dipiring masing masing, suasana sunyi menyelimuti. Kavin memasukan nasi beserta lauknya kedalam mulut, tidak terlalu enak memang karena ia tidak menggunakan bubuk MSG, tapi yang terpenting itu sehat buat bundanya.
"Ngga enak ya, Bun?" tanya Kavin disela makannya.
"Enak kok, kata siapa ngga enak? Pasti ayah kamu juga seneng--" ucapan Desi terhenti ketika ia menyebut mantan suaminya itu.
Kavin menaruh sendok makan dipiringnya, "Bunda kangen Ayah?"
Desi tersenyum, "Yaudah kita lanjut makan lagi," ucap Desi tanpa mengidahkan ucapan Kevin.
Kini jelas Desi sangat merindukan mantan suaminya, terbukti dari gelagatnya yang tak menjawab pertanyaan Kavin. Rasa bersalah meliputi relung dada Kavin, ini salahnya.
Coba jika saat itu ia tidak pulang larut malam dengan keadaan babak belur, pasti semuanya tidak seperti ini. Dan coba jika ia paham akan pekerjaan kedua orang tuanya, ia pasti masih bisa melihat ayah dan bundanya bersama.
"Maafin Kavin, Bun."
*****
Dibalik kejamnya lu Vin, ternyata ada sifat takut kehilangan ya. Semuanya juga punya, termasuk gua yang takut kehilangan doi, hehe.
Yoo ngga bosen kan? Seneng ternyata ada yang baca cerita ini. Keep it.
Dan sesuai janji, gua update pagi ini haha. Jangan lupa vote and comments, hm.
Ps: Psikiater adalah profesi dokter spesialistik yang memiliki spesialisasi dalam diagnosis dan penanganan gangguan emosional.
Penasaran? Baca cerita lengkapnya di dreame. Tulis di laman web dreame.com, atau Download aplikasinya di playstore dan appstore (Dreame), dan setelahnya search Kavin Putra dipencarian...
See you soon,
Bogor, 24 Juli 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Kavin Putra (Complete)
Teen FictionJudul awal: My Possessive Cold Boy Kavin tidak pernah percaya bahwa dirinya akan mabuk kepayang. Berawal dari ia mencium wangi seorang perempuan layaknya Werewolf membuatnya ingin menghirup wangi perempuan itu lagi dan lagi. Dari awal Kavin sudah me...