2

127K 6.7K 604
                                    

"Oi, pacar." panggilnya ketika aku hendak keluar kelas untuk mengisi perutku di kantin.

Aku menoleh dan Damai-pacarku yang kemarin baru jadian sudah berdiri disana.

"Ada apa?" tanyaku heran.

"Kau mau ke kantin'kan?" tanyanya.

Aku mengangguk.

"Bareng." sahutnya singkat.

Aku hanya mengangguk dan berjalan disampingnya.

Awalnya tidak ada yang aneh dan kelihatan normal. Tetapi tiba-tiba suasana menjadi ricuh ketika kami melewati kelas IPA yang merupakan jalur yang memang harus ditempuh untuk ke kantin.

Banyak mata yang memperhatikan kami sampai-sampai aku merinding sendiri.

Seterkenal itukah Damai ini? Sampai aku dipelototi banyak orang?

Kami tiba di kantin dan aku mulai duduk di tempat duduk yang sudah disediakan. Aku melihat Damai juga duduk. Aku mengernyitkan kening. Bingung.

"Lah.. Ngapain di sana? Pesen gih." katanya sambil menunjuk ke barisan antrian bakso bu Siti.

"Aku yang ngantri?" tanyaku kaget. Nggak percaya ada pacar semacam ini.

"Iya. Aku pesen bakso satu, nggak usah saos dan kubis ya." jawabnya santai, nggak ada sedikitpun tanda-tanda dia bercanda.

Dengan setengah hati aku berdiri dan mulai berjalan ke barisan antrian yang sudah sangat panjang itu. Aku menoleh ke arahnya dan dia hanya tersenyum tanpa dosa.

Setelah lima belas menit, akhirnya aku selesai memesan bakso dan membawakannya ke Damai.

"Nih." kataku sambil menyodorkan semangkok bakso padanya.

"Ok." sahutnya sambil mulai menyantap baksonya.

Aku terdiam. Entah kenapa kesal.

Dia nggak makasih nih?

Aku tunggu beberapa menit dan kata itu tidak terucap. Akupun menyerah dan mencoba menghilangkan kekesalanku dengan mulai menyantap baksoku. Tapi..

"Pacar, aku haus. Beliin teh kotak ya. Nih uangnya." kata Damai sambil memberikan selembar uang Rp 5.000.

Aku memandangnya sinis seolah berkata 'aku lagi mau makan. Nggak lihat hah?', tetapi sepertinya dia terlalu lemot untuk mengerti bahasa telepati cewek.

"Buruan!" Katanya setengah maksa.

Akupun meletakkan sendokku kembali dan berlari menuju kedai pak Dudung, penjual minuman di kantin sekolahku.

"Teh kotak satu, pak." kataku sambil memberikan uang Rp5.000.an.

Pak Dudung menerima uang dariku lalu memberiku sekotak teh kotak dan uang kembalian.

"Ini, neng. Kembaliannya Rp.500."

"Makasih, pak." kataku sambil menerima teh kotak dan uang kembalian itu.

Aku berlari menghampiri Damai.

"Nih." kataku sambil memberikan teh kotak padanya.

"Kembaliannya mana?" tanyanya heran.

Aku menghela nafas panjang, mencoba meredakan amarahku yang mulai muncul.

"Ini." kataku sambil memberikan uang Rp500 rupiah.

Aku duduk kembali ke tempat dudukku. Aku bersiap menyantap baksoku.

Tiba-tiba bel istirahat telah berakhir berbunyi. Aku menatap baksoku yang sekarang sudah dingin dan harus aku tinggalkan.

"Oi, udah bel. Sana masuk kelas." Ujar Damai lalu berlalu pergi menuju kelasnya.

Aku hanya menatapnya dingin. Aku ingin mengumpatnya tetapi mengingat dia pacarku, aku mencoba menahannya.

***
Pulang sekolah Damai kembali menungguku di depan kelas. Kehadirannya mengundang perhatian teman-temanku. Mereka banyak berbisik kalau Damai itu tampan, pintar, kaya dan terkenal. Karena itu mereka bilang aku beruntung dan mereka sangat iri padaku. Tapi entah kenapa aku tidak merasa beruntung sama sekali.

"Oi, pacar." panggilnya.

"Ada apa?" tanyaku heran.

"Kau bawa sepeda'kan?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk.

"Kenapa?" tanyaku penasaran.

"Bareng ya." jawabnya sambil senyum.

Ah.. Benar-benar menggoda iman. Senyumannya itu memabukkan.

Aku mengiyakan ajakannya dan kami mulai jalan ke parkiran.

Aku memintanya menunggu di depan gerbang sekolah karena masih harus mengambil sepeda ontelku di parkiran. Terlebih aku harus menunggu sepi agar tidak berdesak-desakan dengan siswa lain yang membawa sepeda motor.

Tak lama kemudian, aku berhasil keluar. Aku mendekati Damai yang telah berdiri menungguku.

"Ayo." ajakku sambil mencoba memberikan sepedaku padanya.

"Apa?" katanya heran.

"Kamu yang nyetir'kan?" tanyaku kebingungan.

"Aku nggak bisa naik sepeda." jawabnya polos.

Aku mengatubkan bibirku rapat-rapat. Aku harus bisa bersabar bersamanya.

Siang itu-dengan kilauan matahari yang bersinar cerah, aku membonceng pacarku pulang ke rumahnya yang berjarak 2 km dengan selamat.

Hai Readers.
Don't forget to vote and comment ya
Thanks for read 😊

MY KAMPRET BOYFRIENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang