3

101K 5.9K 549
                                    

Hari ini aku didamprat pak Komar, guru Pkn gara-gara nggak hafal UUD 1945 pasal 31-37. Sebenarnya beliau sudah memberikan keringanan untuk menghafalnya sejak seminggu yang lalu tetapi aku selalu ketiduran pas niat ngafalin. Endingnya, aku disuruh lari lapangan lagi.

Aku sedang menikmati kebebasanku untuk berlari sendirian di lapangan basket sekolahku. Tiba-tiba keluar anak-anak IPA dari lab Biologi, salah satu di antara mereka terselip Damai.

Aku mengacuhkannya. Tak mungkin Damai menyapaku. Jadi aku lanjutkan hukumanku.

"Oi, pacar." Damai memanggilku.

Aku hanya menoleh sebentar dan melanjutkan berlari.

"Oi, pacar." teriaknya lagi.

Terpaksa, aku mendatanginya.

"Ada apa?" tanyaku setelah berdiri di depannya.

"Oi, kalian." panggilnya pada anak cewek di kelasnya yang sedang melihatku penuh tatapan kebencian seolah aku sudah melakukan dosa besar.

"Dia pacarku." katanya sambil senyum membuat cewek-cewek itu seperti ingin memakanku hidup-hidup.

"Kok pacaran sama dia sih?" salah seorang dari cewek itu bertanya.

Aku lihat nama di seragamnya, Adelia.N.F. Entah siapa nama panggilannya.

"Iya, Mai. Kok pacarmu biasa aja sih? Kamu kan sang juara Matematika tingkat Nasional. Yang selalu bawa piala kalau lomba, masak pacarnya biasa aja? Anak IPS lagi." seorang lagi menimpali.

Mereka nggak terima banget aku pacaran sama Damai. Aku aja yang pacaran biasa aja.

"Oi, pacar. Kamu ditanyain tuh. Kok pacaran sama aku." katanya sambil melihatku.

Aku terdiam. Aku hanya melihatnya dengan perasaan bingung.

Ini aku yang oon apa dia? Perasaan yang lagi ditanya dia.

"Mai, kamu nolak aku demi dia? Duh.. Kejamnya dirimu." seorang cewek lagi menyela, entah dia muncul darimana. Sebelumnya dia nggak ada.

Aku melihat cewek itu cukup lama. Rasanya aku pernah melihatnya saat upacara. Ah, rupanya dia si juara Fisika itu.

"Dia bukan cewek ribet." jawab Damai membuat cewek itu bungkam.

Damai melihatku dengan wajah yang menunjukkan rasa heran dan penasaran. Ia penasaran melihatku lari keliling lapangan sendirian, pakai seragam lagi.

"Kamu dikeluarin?" tanyanya penasaran.

Aku mengangguk.

"Iya."

Sejumlah cewek tertawa mendengar jawabanku. Aku hanya mengacuhkannya. Nggak ada niatan untuk melawan.

"Kenapa?" tanya Damai lagi.

"Nggak hafal UUD 1945." jawabku jujur.

Teman-teman Damai makin menjadi-jadi, mereka tertawa ngakak. Sedangkan Damai hanya memandangku dengan wajah polosnya.

"Dihukum lari berapa kali putaran?"

"Lima."

"Udah dapet berapa putaran?"

"Empat."

"Lah.. Kok santai disini. Udah sana lanjutin. Kurang satu lagi." katanya sambil menggerak-gerakan tangannya seolah mengusirku pergi.

Aku kepalkan tanganku kuat-kuat. Aku mencoba sekuat tenaga menahan amarah di dalam hatiku yang sudah ingin meledak.

Bagaimanapun kami baru jadian dan pertengkaran hanya akan membawa perpisahan.

Aku menghela nafas dan menjauh darinya, hendak melanjutkan lariku.

"Oi, pacar." Damai memanggil lagi.

Aku menoleh. Dia tersenyum. Aku senang sekali. Aku seperti sedang disemangati.

"Ntar istirahat beliin aku siomay dan teh kotak ya. Ntar aku ganti uangnya. Anterin ke kelas, nggak pake lama. Ok?" katanya membuatku ternganga.

Sumpah, jika saja ada satu lagi anak unggulan utama yang khilaf sepertinya. Aku akan mencampakkan Damai!

Tapi kenyataannya nggak ada. Jadi, aku terpaksa ke kelasnya untuk mengantar pesanannya.

"Sorry, ada Damai?" tanyaku pada seorang cowok yang berdiri di depan pintu kelas X IPA-1.

"Ah, Damai ada. Bentar aku panggilin."

Cowok itu ramah. Berbeda dengan cewek-cewek di kelas itu yang memandang rendah padaku.

Dia memanggilkan Damai. Damai pun berjalan menghampiriku.

"Siapa?" tanya cowok yang tadi aku tanyai pada Damai.

"Pacar." jawab Damai santai.

"Woa.. Keren." sahut temennya sambil memberinya ibu jari seolah berkata 'top'.

Aku tidak terlalu peduli mereka menggosipkanku yang penting urusanku dan Damai cepat kelar jadi aku bisa ke kantin.

Damai menghampiriku dan yang pertama ia pindai adalah pesanannya. Dia tersenyum ketika melihatku membawakan pesanannya dengan selamat dan masih utuh.

"Siomaynya masih anget nggak?" Tanyanya sebelum mengambil siomay.

"Masih."

"Nggak pake sambel'kan?" tanyanya lagi.

"Nggak."

"Jadi berapa?" tanyanya.

"Siomaynya Rp5.000, teh kotak Rp4.500. Jadi semuanya Rp9.500." jawabku sambil mengulurkan tangan meminta uang padanya.

"Nih." Katanya sambil memberikan selembar uang Rp5.000, dua lembar uang Rp2.000.an dan sekeping uang logam Rp500.an.

"Pas ya?" katanya lalu kembali masuk ke kelasnya.

Damai kembali ke tempat duduknya lalu kembali melanjutkan kegiatannya. Sepertinya dia sedang belajar.

Aku menatapnya cukup lama sebelum pergi. Agaknya dia terganggu, dia memberiku isyarat dengan tangan agar aku kembali ke kelasku. Akupun hanya bisa memandangi uang yang ia berikan.

Benar-benar pas dan nggak ada ongkos kirim.

Hai Readers..
Jangan lupa vote and comment
Share juga kalau bisa
Thanks for read
😊😊😊

MY KAMPRET BOYFRIENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang