Udah lumrah banget kalau bakal ada banyak orang yang iri ketika kita mendapatkan sesuatu yang tidak bisa didapatkan orang lain. Tapi aku nggak nyangka bakal separah ini.
Hari ini ketika aku datang ke sekolah. Para senior IPA kelas XI IPA-1 telah menungguku. Mereka membawa paksa aku ke toilet cewek yang seumur hidup sebenarnya nggak mau aku masukin. Selain karena terkenal ada 'penunggu'-nya, toiletnya bau dan sering dipake kakak kelas nongkrong.
"Kau pacaran sama Damai?" tanya seorang kakak kelas sinis.
Aku mengangguk.
"Putusin, ngerti." Dia setengah membentak membuatku agak kaget mengingat suaranya cempreng dan nyaring.
"Dia yang ngajak, kak. Masak aku yang mutusin? Nggak ada lagi." Sahutku mencoba membela diri.
"Hei, cowok IPA tuh banyak. Secara ada kelas IPA-1 sampai IPA-7. Masak dari sekian banyak cowok itu kamu malah macarin cogan kita?" Seorang cewek lagi menyanggah pembelaanku.
"Yang ngajak pacaran dia, kak." Aku kembali menjawab.
Para kakak kelas itu yang kalau aku hitung ada 6 orang mempelototiku.
"Nggak usah ngejawab kalau dibilangin. Nggak mau tahu, istirahatan kau harus mutusin dia. Kalau nggak, kamu nggak akan tenang sekolah disini. Ngerti?" ancam seorang senior yang tampaknya menjadi 'ketua'nya.
"Ayo pergi." Katanya menimpali.
Dia dan teman-temannya pergi meninggalkan aku sendiri.
Aku tidak mengerti kenapa mereka melakukan ini? Toh Damai yang mereka banggain itu benar-benar nggak bisa dibanggain sama sekali.
Bel istirahat berbunyi tapi kali ini aku nggak berani ke kantin. Aku masih stay di kelasku. Nggak ada niatan untuk pergi sama sekali. Lalu, si iblis kecil itu datang.
"Oi, pacar." panggilnya.
Aku diam. Berpura-pura tidak mendengarnya.
"Oi, pacar." panggilnya lagi.
Aku masih mengacuhkannya. Meskipun temanku ikut membantunya memanggilku, aku tetap saja diam di tempat. Nggak peduli.
"Oi." Katanya yang tiba-tiba udah di depanku.
Dia masuk ke kelasku. Sungguh di luar dugaan.
"Apa?" Kataku agak jutek.
"Suaramu biasa aja." Katanya kesal.
"Ada apa?" Tanyaku lagi. Kali ini dengan nada yang lebih ramah.
"Nah, gitu'kan enak." Ujarnya sambil senyum.
Ah..Lagi-lagi senyuman itu meluluhkanku.
"Aku nggak bisa ke kantin hari ini. Ntar lagi aku bimbingan olimpiade sampai pulang. Jadi nggak ikut pelajaran di kelas." Katanya menerangkan.
"Lalu?" tanyaku heran.
"Kamu makan aja sendirian ya. Ntar pulangnya tungguin bentar. Kita pulang bareng." Jawabnya sambil nyengir.
"Ogah." Kataku menolak.
"Lah..kenapa?" tanyanya bingung.
Bener-bener cowok nggak peka.
"Nggak mau pokoknya. Aku nggak bawa sepeda." jawabku sambil nahan kesel.
"Ah.. gara-gara aku nggak bisa naik sepeda?" tanyanya dengan wajah polos.
"Iya." sahutku singkat.
"Tenang aja. Aku cuma minta dianterin ke rumah Fahri kok. Deket cuma 500 meter dari sekolah."
Aku melihatnya dari atas sampai bawah. Dari kepalanya sampai kaki. Aku benar-benar ragu, dia itu benar-benar pintar ta?
"Nggak, aku nggak bawa sepeda." Tolakku.
"Yaudah, temenin jalan kaki." Katanya lalu pergi.
Aku hanya mencibirnya karena udah mengambil keputusan sepihak. Tetapi pacarku itu tak peduli.
Pulang sekolah, aku terpaksa menunggunya dan itu merupakan kesalahan besar dalam hidupku.
Kakak kelas yang tadi membully-ku di kamar mandi telah menungguku. Mereka membawaku ke depan perpustakaan yang berada di paling ujung sehingga tidak ada yang bisa melihat kami sedang apa.
"Ada apa, kak?" Tanyaku masih sopan.
"Udah putus?" Katanya kasar.
Aku menggeleng.
"Kok belum? 'Kan aku kasih waktu sampai istirahat." Kata kakak kelas kedua.
Mereka ada enam orang dan semuanya cewek.
"Nggak sempet bilang, kak." jawabku ngeles.
"Bohong. Buktinya kalian mau pulang bareng'kan? Kau pikir kami bego?" Si kakak kelas pertama meninggikan suaranya. Sepertinya dia sudah murka.
"Itu...." Aku mikir, mencari jalan terbaik.
Karena aku terlalu lama diam, salah seorang dari mereka hendak menamparku. Tapi...
"Oi, pacar." panggil Damai.
Kami semua menoleh dan mendadak keenam kakak kelas itu berubah sikap. Seolah tak ada yang terjadi di antara kami.
"Dek Damai." Sapa salah satunya, sok manis.
"Kau diam saja di-bully?" Tanyanya heran.
Kami terdiam. Rupanya dia sadar aku dibully?
"Nggak ada yang bully, kok. Kami cuma ngobrol." Kata kakak kelasnya sambil mencoba merangkulku.
"Yang menang, aku pertimbangkan jadi pacar." Kata Damai santai.
Perkataannya membuat keenam kakak kelas itu khilaf, mereka mulai menjambakku. Aku pun yang awalnya diam, mulai menyerang.
Untuk pertama kalinya siang itu-aku mempraktekkan hasil Taekwondo-ku yang aku pelajari sejak SMP kepada mereka.
***
"Oi, pacar." Kata Damai sambil melihatku yang babak belur karena melawan enam orang sekaligus.
Hasil dari pertempuran kami, aku yang menang karena masih berdiri meski lebam dan memar sana-sini.
"Sudah aku duga kau kuat." Puji Damai ketika aku berjalan bersamanya, menepati janjiku untuk menemaninya jalan kaki ke rumah Fahri.
Aku hanya diam, bibirku terluka. Siku dan lututku lebam kena tendang dan pukul. Belum lagi rambutku banyak rontok karena dijambak.
"Lain kali kalau mereka berulah lawan saja. Nggak usah nunggu aku suruh." Katanya memberiku saran yang menurutku nggak masuk akal.
"Kalau bertengkar di sekolah bisa masuk BK. Untung tadi nggak ada guru." Kataku membantah sarannya yang nggak guna itu.
"Pacar." Katanya menghentikan langkahnya membuatku juga berhenti.
"Ada apa?" Tanyaku heran.
"Mulai besok bawa obat merah dan perban. Jadi kalau kau bonyok, kau bisa berobat langsung." Katanya lalu masuk ke sebuah rumah. Sepertinya ia sudah sampai di rumah Fahri.
Aku terdiam mendengar perkataannya. Haruskah aku anggap itu ejekan? Atau suatu bentuk perhatian? Ah.. Entahlah.
Ditemani sinar matahari dan angin jalanan yang menerbangkan debu, aku pulang dengan wajah babak belur.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY KAMPRET BOYFRIEND
HumorSUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU Nana Sugimoto, 15 tahun. Anak IPS yang udah jones sejak lahir. Akhirnya mengakhiri masa jomblonya setelah punya pacar di SMA. Tapi ternyata pacarnya adalah pacar terkampret di dunia. Sejak punya pacar, dia malah harus me...