EPILOG

114 4 3
                                    

Desember, satu tahun lalu.

Pagi ini Papa mengajak Fajar untuk jogging di sekitar perumahan. Tadinya Papa ingin mengajak Senja juga, tetapi ia susah untuk dibangukan karena semalam begadang untuk membaca buku yang baru dibelinya kemarin.

Sekitar dua jam setelah jogging, Papa lebih dulu masuk ke rumah, meninggalkan Fajar yang masih melepas tali sepatunya.
Fajar segera menuju dapur untuk meminum air mineral.

“Senja, hari ini ulang tahun kamu dan Fajar. Kamu mau kemana untuk merayakannya.” Suara Mama terdengar saat Fajar berjalan menuju dapur.

“Gimana kalau makan masakan Mama di rumah?” Papa yang tidak ditanya justru menjawab dengan cepat.

“Kalau Fajar? Kamu mau kemana?” Fajar hanya mengangkat bahunya. Fajar dapat melihat Senja menopang pipinya dengan tangan kanan di meja makan. Senja pasti masih mengantuk.

“Yang lagi ulang tahun malah nggak jawab. Justru yang ulang tahunnya sudah lewat malah menjawab. Menurut Senja gimana? Kemanapun nggak apa-apa kok.” Mama bertanya lagi dan menghampiri Senja, lalu menyenggol tangan kanannya.

“Mama!!” Rajuk Senja.

“Apaaaa?” Mama menggoda Senja dengan nada yang dibuat-buat.

Kalau Mama sudah begitu satu-satunya cara untuk mendiamkannya adalah menjawab pertanyaannya. “Warung mi ayam yang dekat rumah Mbah Ratna aja, nanti sekalian mampir ke rumah beliau, Ma.”

“Oke deh. Kita berangkat sore ini ya, nanti kita nginep di rumah Mbah Ratna. Biar Mama telepon dulu.”

Mama mirip sekali dengan Senja. Tubuhnya mungil dengan kulit kuning langsat. Rambutnya hitam terawat walaupun ia dibesarkan di panti asuhan selama delapan tahun. Mbah Ratna kemudian mengadopsinya karena tidak bisa memiliki keturunan.

Mama adalah wanita yang sangat halus jika berbicara, ia juga sangat menyayangi keluarga kecilnya. Mungkin itu yang membuat Papa menyukai Mama.
Dengan Mama, keluarga kecil mereka terasa sangat harmonis. Tetapi usia Mama tidak lama, karena harus melindungi Fajar, Mama pergi untuk selamanya.

Sore itu, keluarga kecil mereka berangkat menuju warung mi ayam. Hujan sudah mengguyur sejak siang tadi. Senja ingin membatalkan rencana mereka untuk makan mi ayam, tetapi Mama merasa tidak enak pada Mbah Ratna.

“Kita harus tetap berangkat.” Kata Mama.

“Hujannya deras banget, Ma. Jalanan pasti licin.” Senja mengingatkan.

“Tapi ini hari ulang tahun kamu dan Fajar.”

“Besok juga bisa kok.”

“Kalau besok udah lewat. Sekarang aja.”

Senja duduk di samping Papa yang mengemudi kendaraan. Ia tidak bisa tidur jika duduk di  bagian tengah atau belakang mobil. Sedangkan Fajar duduk bersama Mama. Hujan makin deras dan kendaraan justru semakin banyak.

Mama mulai bercerita untuk Senja, agar ia cepat tertidur. Di usianya yang sudah beranjak remaja, Senja tetap meyukai cerita Mama. Mama mulai mendekat ke arah Senja. Kali itu, ceritanya tentang ‘Bangau dan Macan’.

“Bangau dan Macan sudah lama berteman. Suatu hari Bangau berulang tahun, ia mengundang Macan datang ke rumahnya untuk makan malam. Setelah sampai di rumah Bangau, Macan kebingungan karena ada dua botol berisi makanan, rupanya Bangau memakan makanan di botol bukan di piring seperti Macan. Bangau di mana makananku tanya Macan pada Bangau temannya. Ini makananmu ujar Bangau menyodorkan salah satu botol. Tapi aku tidak bisa makan lewat botol Macan memberitahu Bangau, tetapi Bangau ternyata tidak peduli. Akhirnya Macan hanya melihat Bangau yang sedang makan. Kamu tidak memakan makananmu? Sini berikan saja padaku ucap Bangau melihat Macan tidak memakan makanannya, Bangau pun memakan makanannya sendiri dengan cepat setelah Macan menyodorkan ke arah Bangau. Seminggu kemudian, giliran Macan yang ulang tahun, ia berniat untuk membalas perlakuan Bangau kepadanya. Macan melakukan hal yang sama seperti perlakuan Bangau minggu lalu. Mulai dari mengajak Bangau datang ke rumahnya hingga menyiapkan makanan di piring. Setelah pelakuan itu, Bangau mulai mengerti jika ia telah memperlakukan Macan dengan tidak benar. akhirnya mereka berbaikan. Dan menjadi sahabat selamanya.” Mama menyelesaikan ceritanya walaupun Senja telah terlelap sejak tadi.

Ketika perjalanan ke arah tol, semua kendaraan mempercepat kendaraannya. Hingga terdengar suara keras di depan mobil Papa. Papa yang tidak memperhitungkan dan jalanan yang licin membuat rem mobil seakan percuma terpasang di bagian mobil. Papa membanting setir ke arah kanan melebati bahu jalan.

Mobil mereka menabrak pembatas jalanan. Kepala Senja terantuk benda tumpul. Kepala Papa membentur setir mobil. Kepala Fajar tidak terlalu terluka parah karena Mama memeluk Fajar, sehingga kepala Fajar tetap aman dan sebagai gantinya, Mama pergi untuk selamanya. Mama pergi karena sudah melindungi Fajar.

Fajar meminta untuk tinggal di rumah Mbah Ratna pascakecelakaan itu. Ia memintanya karena berbagai alasan.

Fajar ingin membangun lagi hatinya. Fajar belum mau bertemu Senja yang sangat mirip dengan Mama. Fajar sangat merasa bersalah saat mendengar Senja kehilangan ingatannya.
Tentu saja alasan itu tidak ia kemukakan. Ia hanya berkata ingin tinggal bersama Mbah Ratna yang sangat terpukul kali itu.

Hari itu, Fajar menjadi seseorang yang begitu dingin dan tertutup kabut.

“Begitu kurang lebih ceritanya.” Fajar menghirup nafas dalam-dalam. Tenyata membuka luka lama sangatlah perih.

“Sekarang Kamu nggak sendiri lagi Fajar. Ada aku.”
Senyum Senja membuat perasaan Fajar tidak karuan, pada titik ini ia mengetahui jika selama ini ia hanya berpura-pura kuat dihadapan semua orang. Kenyataannya, mungkin ia lah manusia terlemah di dunia.

Senja akhirnya mengerti mengapa Papanya selalu berkata padanya jika ia harus bersabar dengan sikap Fajar, Fajar hanya membutuhkan waktu untuk mengetahui jika ia tak membenci adiknya, Fajar mungkin terlihat selalu dingin sepanjang waktu, tetapi yang sebenarnya adalah Fajar sangat rapuh di dalam, ia membutuhkan sandaran tetapi ia tak mau jujur pada dirinya sendiri, jadi ia bersikap seperti itu.

Di temani dua cangkir cokelat panas, bulan dan cahaya bintang di langit malam, lewat tatapan mata, Fajar dan Senja berjanji untuk saling menjaga dan tidak bersedih secara berlebihan. Agar Papa dan Mama tenang di sana.

-----
Akhirnya selesai. *ngucek mata*

Fyi: Cerita Bangau dan Macan itu pernah aku dengar dari Emak-ku waktu aku akan tidur siang dulu -sekitar 10 tahun lalu.
(Ya, aku memanggil wanita yang sudah melahirkanku dengan sebutan Emak, bukan mommy apalagi momsky) ≧∇≦

Ucapan terima kasih disampaikan untuk kakakku yang selalu mengizinkanku untuk meminjam laptopnya disela kesibukannya mengerjakan berbagai tugas kuliah.

Waktu adalah hal berharga yang tidak dapat kembali, jadi ucapan terima kasih juga aku sampaikan pada kalian yang sudah meluangkan waktu untuk membaca ceritaku. (⌒o⌒) Terima kasih juga sudah vote dan comment, hal itu sangat berarti untuk menambah semangat menulisku.
Terkadang aku berpikir jika ucapan terima kasih tidaklah cukup, tapi untuk sekarang, hanya itu yang dapat aku lakukan untuk membalas kebaikan kalian.

Ada beberapa story project yang sedang aku garap, semoga cepat selesai dan bisa aku publikasikan.

Aku yakin masih banyak kekurangan dari cerita fiksi ini, jadi, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan untuk perbaikan.

Sampai bertemu di lain cerita.
'(*∩_∩*)′

Senja dan usainya cerita MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang