Malam yang sunyi, dengan awan yang menutupi ribuan bintang, seorang gadis berusia enam belas tahun sedang memandangi langit dari atap rumahnya, ia teringat perkataan Papanya saat ia masih berusia tujuh tahun. Papanya berkata jika langit malam tidak berbintang, sudah dapat dipastikan esok hari akan hujan. Ia percaya.
Lembayung Senja dipanggil Senja. Papanya bilang ia adalah gadis paling manis se–rumah . Tentu saja, karena ia adalah satu-satunya perempuan yang ada di rumah. Mamanya sudah meninggal, dan ia tidak ingat penyebab kematian Mamanya sendiri, ia kadang merasa bersalah pada Papanya. Tetapi kata Papanya, tempat Mamanya sekarang mungkin lebih baik daripada dunia. Karena Mamanya pergi untuk menyelamatkan seseorang, dan orang itu adalah Senja.
Malam semakin larut, sekarang ada satu bintang yang terlihat di langit timur. Senja mulai mengantuk, sebaiknya ia turun ke kamarnya dan segera tidur. Adalah kebiasaannya untuk melihat Bintang di ufuk timur sebelum jatuh tertidur.
…
Pagi hari adalah waktu yang sangat Senja sukai, waktu untuk menyirami tanaman peninggalan Mamanya. Bunga mawar. Tetapi melihat tanah yang sudah basah, dapat dipastikan jika semalam tanaman mawar Mamanya sudah disiram oleh alam lewat hujan, Senja pun mengurungkan niatnya untuk menyiram bunga mawar, lebih baik sekarang ia menyiapkan sarapan.Senja hampir memasukkan sesendok nasi goreng buatannya ketika Papa mendekat ke arah meja makan dan bertanya, sehingga ia urungkan niat awalnya.
“Senja, kamu mau punya kakak?” Reno Pratama, pria berusia 42 tahun itu menanyakan hal yang aneh pada puterinya.
“Apa, Pah?” dari sekian pertanyaan Papanya, pertanyaan inilah yang membuat Senja merasa lebih pintar dari Papanya.
“Senja, kamu, mau, punya, kakak?” ulang Papanya perlahan.
“Apa… Pah?” tanyanya dengan alis kiri yang lebih tinggi dari alis kanannya.
“Lusa kamu ikut Papa ya?”
“Iya Pah.” Kenapa pertanyaannya berubah? Tanya Senja pada dirinya.
Hari ini adalah Rabu, jadi lusa adalah hari jum’at, entah kemana Papa akan membawanya, tetapi Senja tiba-tiba menantikannya.
…
Pagi yang sama di tempat yang berbeda. Mentari pagi mulai menyinari pepohonan yang diguyur hujan semalam. Sejuknya udara pagi menembus jendela yang baru saja dibuka. Bau rerumputan dan bunga mawar menguar. Pagi hari memang waktu yang sangat menenangkan sekaligus membangkitkan semangat. Seorang laki-laki sedang duduk di teras rumah pandangannya sulit diartikan.
Ia tidak seharusnya melamun di pagi hari, tetapi ia tidak bisa untuk tidak memikirkan perkataan nenek angkatnya dua puluh menit lalu.“Mas, lusa kamu tinggal dengan Papamu.” Ucap Ratna, nenek angkatnya saat mereka selesai sarapan.
“Mbah, saya sudah senang tinggal di sini.” Ujar laki-laki itu dengan suara pelan, seperti sedang banyak pikiran.
“Jangan terus menghindar, Mas. Kamu memang masih remaja, tapi kamu harus mulai bersikap dewasa.” Wanita berusia 67 tahun itu menasihati anak laki-laki yang sudah dianggapnya cucu sendiri.
Bintang Fajar –nama anak laki-laki itu– sebenarnya sudah tau, suatu saat ia akan tinggal bersama orang-orang yang seharusnya. Ia hanya tidak yakin apakah bisa kembali ke rumahnya yang dulu. Ia harus memperbaiki sikapnya sekarang, lalu minta maaf kepada Mbahnya karena tadi ia tidak mau menjawab perkataannya. Pagi ini terasa berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya.
…
Cahaya jingga dan merah mendominasi langit. Matahari mulai menyentuh horizon. Burung-burung terbang kembali ke sarang. Lampu-lampu di jalanan dan di rumah-rumah mulai dinyalakan. Fajar duduk di ayunan menatap senja. Peluhnya membanjir di kausnya. Ia baru saja selesai bermain basket, sendirian. Adalah kebiasaannya untuk beristirahat sejenak sebelum pulang ke rumah. Fajar selalu menyukai suasana saat senja, karena saat seperti ini selalu mengingatkannya pada seseorang. Ditambah lagi, lusa ia akan bertemu dengan orang itu.
Fajar mulai merasakan kesedihan, rasanya ingin menangis selagi tak ada yang memperhatikan, tetapi bahkan air matanya tak mau keluar sama sekali. Bertahun-tahun menyimpan semua kesedihan sendiri membuat Fajar tahu bahwa yang paling menyakitkan dari rasa sakit adalah saat ia hanya dapat diam dan membiarkan rasa sakit menang, berusaha untuk selalu terlihat kuat mungkin telah menjadikan hatinya beku. Luka lamanya seharusnya sudah mengering, tetapi rasanya baru seperti kemarin luka itu terbentuk.
Entah lusa ia harus bersikap seperti apa. Lalu esok hari setelah lusa, lalu esoknya, dan esoknya lagi. Hari ini Fajar harus mulai belajar untuk melupakan masa lalunya. Lusa dan seterusnya adalah lembar baru kehidupan. Ia menarik nafas dalam-dalam, berharap mendapat kekuatan dari oksigen yang memenuhi paru-parunya.
Puas memandangi langit, saatnya untuk pulang, saat ini pasti Mbah sudah menyiapkan makan malam. Fajar tidak boleh membuat Mbahnya menunggu.-------
Kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan untuk perbaikan.
'(*∩_∩*)′
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan usainya cerita Mama
Fiksi Umum[ Selesai ] Pertemuan Senja dan Fajar bukanlah suatu kebetulan. Semua sudah direncanakan. Dari awal memang sudah seharusnya Fajar bertemu dengan Senja. Tanpa sadar, pertengkaran justru semakin mendekatkan.