KESEMBILAN

81 5 0
                                    

Senja terbangun di suatu ruangan bercat putih. Sunyi dengan bau obat-obatan yang menyengat. Menoleh ke arah kiri, Senja mendapati Fajar sedang tertidur di bangku berbahan plastik dengan tangan terlipat. Fajar pasti tidak nyaman tidur dengan posisi seperti itu.

"Fajar?" Panggil Senja dengan suara pelan.

"Kamu sudah bangun?" Fajar menjawab dengan suara serak dan wajah yang terlihat sangat lelah, matanya juga memerah. Fajar pasti tadi menangis. Melihatnya Senja juga ingin menangis, tetapi ia tidak mau menangis di sini takut kalau-kalau suaranya mengganggu pasien lain.

"Iya," Senja menjawab dengan menunduk dalam.

"Kita harus pulang dulu. Banyak yang harus di urus, nanti aku telepon Mbah Ratna untuk membantu."

"Iya. Makasih Fajar. Kali ini biar aku yang bonceng kamu ya ?"

"Kamu habis pingsan, konyol."

"Dari dulu, kamu yang selalu bonceng aku." Ingatannya tentang Fajar sudah sangat banyak yang kembali.

"Dari dulu?"

"Iya. Nanti gantian kalau aku capek."

...

Jalanan begitu lengang, hanya satu-dua kendaraan yang melintas. Setelah Fajar memberi air mineral dan roti, tubuh Senja sudah lebih baik. Pingsannya tadi pasti karena terkejut mendengar berita tentang Papa. Senja bahkan belum melihat bagaimana keadaan Papa, entah Fajar sudah atau belum.

Air mata Senja meleleh ketika sampai di atas atap rumah Papa. Jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Senja sama sekali tidak berpikir akan mengakhiri hidupnya, ia hanya ingin menangis tanpa dilihat orang lain. Berharap setelah ini ia bisa merelakan kepergian Papa. Mungkin juga kepergian Mama. Berharap setelah ini, ia dapat tetap menjalani hidupnya dengan baik.

Suara langkah mendekat perlahan, Senja sudah tau siapa yang datang. Dengan cepat ia menghapus air matanya. Ia tidak boleh terlihat lemah lagi di depan Fajar. Di rumah sakit tadi, pasti Senja sudah sangat merepotkan. Fajar mengambil tempat di samping kanan Senja.
Mereka hanya diam menatap bintang. Mereka belum dewasa, namun sudah cukup tua untuk saling bermusuhan.

"Nangis aja," Fajar berucap setelah duduk di samping Senja.

"Aku nggak akan lihat." Lanjutnya lagi.

Tangis Senja pecah. Kali ini ia tidak peduli jika ada yang melihat air matanya. Senja hanya ingin menangis sepuasnya.
Hari itu, Fajar adalah tempat paling nyaman untuk bersandar.

...

Air mata Fajar yang sedari tadi tak mampu keluar, malam itu seperti ingin dikosongkan tampungannya. Air mata yang selama ini ia sembunyikan dengan baik. Malam itu, ia ingin seseorang melihat sisi lemahnya. Malam itu, api yang membakar hatinya telah padam. Dendamnya telah surut. Ia telah berhasil berdamai dengan hatinya. Ia tak lagi membenci adiknya seperti ia membenci dirinya sendiri. ia tak boleh melarikan diri dari adiknya lagi. Ternyata yang selama ini ia butuhkan adalah waktu untuk menyesuaikan diri dengan adiknya, waktu untuk mendewasakannya.

...

Setelah setengah jam yang lalu di telepon oleh Fajar, Widi datang dan langsung memeluk Senja, ia menahan tangis seperti Senja. Kemudian ibunya datang dan melakukan hal yang sama.

Orang-orang yang datang sudah mulai kembali ke rumah masing-masing, namun tidak dengan Senja dan Fajar. Mereka masih bertahan walau diguyur hujan. Air mata mata mereka saru dengan air hujan. Fajar bangkit kemudian memegang pundak Senja, mengajaknya untuk pulang. Senja kagum pada Fajar yang selalu bisa tenang dalam setiap keadaan, padahal Senja yakin jika Fajar merasakan hal yang sama dengannya, tahun lalu juga ia pasti melihat kematian Mama. Fajar sudah menjadi kakak yang baik untuk Senja.
Setelah menguatkan kakinya untuk tidak bergetar, Senja bangkit kemudian menggenggam tangan Fajar dan pulang.

Sesampainya di rumah Papa, Mbah Ratna segera mengambilkan handuk untuk Senja dan Fajar. Ternyata Mbah sangat peduli pada mereka, tadinya Senja pikir Mbah Ratna sudah pulang duluan. Terlihat jelas jika rautnya sedih sekaligus khawatir.

“Ganti baju kalian. Sudah Mbah buatkan teh tadi.”

Sabtu pagi yang ramai dengan kicauan burung. Udara segar menguar. Matahari mulai menampakkan dirinya di sisi timur langit.

Tepat seminggu setelah kematian Papa. Mbah sedang menyisir rambut Senja di beranda. Di sampingnya ada Fajar yang memperhatikan.

“Mbah mau cerita dua hal sama kalian, Mbah ingin kalian tahu.”

“Iya, Mbah. Kami dengarkan.” Senja menghirup udara pagi dalam-dalam.

“Pertama, saat kalian lahir.” Mbah mulai bercerita sambil mengepang rambut Senja.

“Fajar lahir ketika langit masih berwarna nila, dan bulan masih terlihat memancarkan cahaya. Papa melihat bintang di ufuk timur, dan akhirnya Papa memberi nama anak laki-laki yang baru saja dilahirkan itu, Bintang Fajar.”

“Matahari telah bertemu dengan horizon. Warna merah dan jingga mendominasi langit sore itu. Papa berusaha untuk menenangkan diri dengan melihat langit sore itu. Mama kalian kelihatan sangat kesakitan. Tanpa sadar air mata Papa mengalir. Jika saat Fajar lahir, air mata Papa turun karena bahagia. Saat Senja lahir ayah tidak tau itu air mata bahagia atau sebaliknya. Namun dengan menguatkan perasaan, Papa tetap berada di samping Mama, menenangkannya.”

“Ternyata nama kita punya filosofi yang bagus ya. Padahal nama Senja mirip band lawas. Namaku juga mirip merek pipa.” Tawa Fajar saat melihat namanya ada di badan pipa berwarna putih.

“Kedua, tentang penyakit Papamu.” Mbah berkata setelah tawa Fajar reda.

“Penyakit Papa?” Tanya Senja dengan mata yang membulat. Bahkan Fajar merasa jantungnya kehilangan detaknya beberapa detik.

“Arteri koroner.”

Senja mulai menyadari satu hal. Papanya mempertemukan ia dengan Fajar bukanlah tanpa alasan. Papanya sudah tau tentang penyakitnya dan ia tidak akan bertahan lama lagi di dunia, walaupun pada akhirnya Papa meninggal dalam kecelakaan.

Papanya sudah merencanakannya. Agar ia dan Fajar dapat hidup bersama tanpa dendam. Ia dan Fajar, memang harus dipertemukan.

Mbah Ratna sudah pulang ke rumahnya sore tadi. Fajar dan Senja mengantarnya sampai stasiun. Mbah berpesan untuk sering-sering berkunjung ke rumahnya.

“Sekarang giliran aku yang cerita, tentang memorimu.” Ucap Fajar setelah melihat kereta Mbah Ratna mulai menjauh.

-----
Bagian selanjutnya Epilog yang ngambil bagian Fajar.

Saran dan kritik yang membangun sangat diperlukan untuk perbaikan.
'(*∩_∩*)′

Senja dan usainya cerita MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang