Senja duduk di meja makan masih memakai piyama cokelat muda dengan gambar boneka beruang besar. Perban melilit di kepala Senja, pipi kanan lebam dan lengan kanannya dipenuhi dengan luka dan lecet.
Penampilannya yang seperti ini mirip seperti satu tahun lalu, bedanya kali ini tulang lengannya tidak sampai patah dan ingatannya justru kembali. Ia dengan canggung memerhatikan Fajar yang membuatkan sarapan mengambil alih tugas Senja. Sarapan selesai dibuat tepat ketika Papa datang dengan kemeja dan rambut yang sudah tersisir rapi."Senja, hari ini kamu nggak usah berangkat ke sekolah dulu. Tadi Papa sudah telepon walikelasmu."
"Iya Pah. Kemarin malam Papa sama Fajar makan apa?"
"Kemarin Papa sama Fajar makan ayam bakar yang beli di depan perumahan kok. Harusnya kamu lebih perhatian sama diri kamu sendiri, Senja."
"Kemarin aku hampir nabrak kucing Pah," Senja menjelaskan dengan wajah tertunduk.
"Papa tau, kemarin Fajar sudah cerita semuanya."
"Semuanya?" Senja kemudian teringat siluet laki-laki yang kemarin menolongnya, Senja memang tidak dapat melihat wajahnya karena laki-laki itu menutupi cahaya matahari sore.
"Hari ini Papa mau rapat, jadi kamu sama Fajar di rumah. Kalau ada apa-apa bilang saja sama Fajar, ya?"
"Iya, Pah." Bisa saja Senja bilang tidak mau dan Papa pasti akan menjaga Senja di rumah lalu membatalkan rapatnya. Tetapi Senja tidak mau merepotkan Papanya lagi.
...
Sejak limabelas menit yang lalu, Senja hanya duduk di jendela kamarnya dan memperhatikan Fajar yang sedang bermain basket di kebun. Senja bosan di rumah waktu liburnya bertambah, tidak ada yang dapat dilakukan karena Fajar sudah melakukan semuanya. Membersihkan rumah, menyiram bunga mawar bahkan Fajar mencuci pakaian, tadi juga saat lampu kamar mandi putus, Fajar lah yang mengganti bohlamnya. Dan Senja tidak heran dengan semua kemampuan Fajar yang serba bisa, Fajar pasti selalu membantu Mbah Ratna di rumahnya. Sekarang, entah Senja harus bersyukur atau tidak, mengingat Fajar adalah saudara kembarnya.
"Awas jangan sampai kena tanaman mawar Mama!!" Senja selalu berteriak begitu pada Fajar, padahal bola basketnya masih cukup berjarak dengan tanaman mawar.
"Ngomel mulu, lagi PMS?" Fajar mengatakannya santai dengan pandangan tetap terfokus pada permainannya.
"Kenapa sih kalau perempuan marah itu selalu ditanya gitu?"
"Perempuan yang PMS itu mirip- ""Jangan berani-berani becanda soal PMS,"
"Mirip-"
"Cuma perempuan yang boleh bercanda soal PMS!!!"
"Oke."
Telepon rumah Senja berbunyi tepat ketika Fajar selesai bermain Basket. Sekarang jam makan siang. Senja pikir pasti kerabat Papa.
"Halo."
"Senja!!" Suara Widi yang tidak dirindukan Senja menyapa (baca: menghancurkan) gendang telinganya dan Senja menjauhkan gagang telepon dari telinganya, sejauh-jauhnya.
"Kenapa?" Senja baru menjawab setelah merasa telinganya sudah tidak apa-apa.
"Kamu sakit? Sakit dimananya? Duh, hari ini aku nggak bisa makan siang, sudah kehabisan tempat." Tidak di sekolah atau di telepon, Widi selalu menceritakan hal tidak penting dan anehnya Senja selalu menyukai hal tidak penting yang dibicarakan Widi.
"Sakit biasa kok, mungkin lusa aku masuk sekolah."
"Sakit biasa? Bisa lebih rinci nggak jelasinnya?"
"Kepalaku dijahit tujuh jahitan, pipi kananku berubah biru, tanganku penuh baret."
"Begitu kamu bilang 'biasa'? Aku mau tau gimana yang parahnya."
"Kayak gini, retak tengkorak plus patah tulang kering kanan kiri."
Dan Senja tertawa karena Widi mengumpat di ujung telepon dan langsung mematikan sambungannya....
Fajar dan Senja sedang duduk di beranda. Mereka sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Fajar dengan smartphone miliknya dan Senja dengan novel tebalnya.
Senja tidak memiliki smartphone, hal itu bukan karena Papa yang tidak membelikannya. Papa selalu menanyakan Senja ingin memilikinya atau tidak. Senja hanya tidak tau akan digunakan untuk apa smartphone itu. Ia sudah memiliki PC di kamarnya, itupun jarang digunakan. Ia juga lebih suka ke toko buku dan menghabiskan waktu luang dengan membaca dari pada berselancar di sosial media.
"Senja, kamu nggak apa-apa?"
Senja tidak melihat ada siapapun selain ia dan Fajar. Tetapi Senja ragu jika yang bertanya tadi adalah Fajar."Kamu yang nanya?" Senja mencocok pipi Fajar dengan telunjuknya sekedar memastikan orang di sampingnya bukan bayangan.
"Siapa lagi."
"Oh, yah, aku baik-baik aja." Senja menjawab asal.
"Kamu pernah inget kita semua?"
"Kita semua?"
"Kamu, Papa, Aku. Mama." Sedikit jeda sebelum Fajar menyebutkan kata Mama yang membawa banyak kenangan baginya.
Walaupun Fajar adalah saudara kembarnya, tetapi Senja lupa segala tentangnya. Senja tidak tahu harus sejujur dan seterbuka apa pada Fajar. Tetapi Fajar mungkin bisa mengembalikan ingatan yang telah hilang. Ia tidak boleh terus menghindar.
"Iya, semalem." Senja menutup novelnya dengan menandai halaman terakhir yang ia baca.
"Gimana mimpi kamu?" Tatapan Fajar tertuju pada smartphone milikinya, tetapi fokusnya terarah pada suara Senja.
"Nggak gimana-gimana kok."
"Senja, kamu bisa percaya aku. Dulu juga kita berbagi tempat di rahim Mama," Akhirnya Fajar mengantongi smartphone miliknya.
"Aku cuma inget sebagian kecilnya."
"Cerita seinget kamu."
Akhirnya Senja bercerita bagaimana mimpinya semalam dengan Fajar yang terus menatapnya lekat.
----
Saran dan kritik sangat diperlukan untuk perbaikan.
'(*∩_∩*)′
Selamat siang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan usainya cerita Mama
Fiksi Umum[ Selesai ] Pertemuan Senja dan Fajar bukanlah suatu kebetulan. Semua sudah direncanakan. Dari awal memang sudah seharusnya Fajar bertemu dengan Senja. Tanpa sadar, pertengkaran justru semakin mendekatkan.