KETUJUH

88 5 0
                                    

Tepat sebulan setelah Senja terjatuh dari sepedanya. Sepedanya telah kembali ke rumah dua minggu yang lalu. Hingga saat ini Senja justru merasa beruntung karena telah terlempar dari sepeda. Senja bahkan ingin berterimakasih pada kucing yang sudah berlari di jalan raya. Ingatan masa lalu Senja semakin banyak yang datang perlahan. Senja terkadang berpikir mungkin ia harus membenturkan kepalanya lagi agar ingatannya cepat kembali. Setiap ingatannya kembali, Senja merasa kepalanya berputar, tetapi ia tetap senang dapat mengingat banyak. Semua itu berkat kucing dan sepeda biru muda.

Dan Fajar.

Senja tersentak ketika mengingat kecelakaan sepedanya disebabkan oleh Fajar. Senja harus menemui Fajar yang selalu sibuk menghindar.

...

Pemikiran Senja untuk menemui Fajar tidak pernah terlaksana. Fajar semakin pintar beralasan. Mulai dari mencari kerja paruh waktu dan kegiatan ekskul yang padat.

Papa yang sibuk dengan pekerjaannya sejak dua bulan lalu tidak pernah tahu-menahu soal Fajar, karena tepat 10 menit sebelum Papa pulang, Fajar sudah sampai di rumah dan mandi. Senja maklum saja, selama setahun lebih Papa benar-benar memperhatikannya, pulang lebih awal dan membantu Senja dalam berbagai hal, jadi sekarang sudah saatnya Senja berusaha sendiri. Papa mungkin berpikir Fajar yang tinggal bersama dapat menemani Senja. Tetapi pemikiran Papa tidak sesuai dengan realita.

...

Hari sabtu adalah hari yang cukup membosankan. Papa masih bekerja di hari sabtu, dan Fajar entah kemana lagi kali ini. Tidak ada bedanya dengan atau tanpa Fajar di rumah, dia pergi 15 menit setelah Papa berangkat. Setelah pekerjaan rumahnya selesai, Senja tidak tau lagi harus berbuat apa. Tetapi saat Senja ke dapur untuk mengambil air dingin di kulkas, ia teringat perkataan Widi tempo hari.

"Halo." Terdengar suara menyapa setelah Senja menunggu beberapa detik.

"Selamat pagi menjelang siang, Bu." Senja tersenyum pada wanita di ujung telepon, walau Senja yakin jika senyumnya sudah pasti tidak terlihat.

"Oh, Senja, apa kabar, nak?"

"Baik, bu. Ibu sendiri apa kabar?"

"Sedikit flu," lalu terdengar tawa renyah.

Senja ikut tertawa untuk menghargai, "Widi ada, Bu?"

"Ada, sebentar dipanggil dulu ya,"

"Iya, Bu,"

"Tumben telepon duluan. Kangen?" Suara Widi terdengar dengan percaya diri, setelah Senja menunggu beberapa saat.

"Iya nih, kangen berat." Jawab Senja dengan suara yang dibuat-buat menyerupai anak kecil merajuk.

"Senja aku masih suka sama laki-laki, apalagi yang ganteng itu,"

"Aku juga masih normal kok."

"Kamu mau cerita sekarang?" Sangat jarang Senja menelpon duluan, jadi Widi sudah paham.

"Iya, kamu bisa ke sini Wid? Tapi santai aja aku juga mau beli bahan-bahannya dulu."

"Aku ada kok, kamu siapin peralatan masak aja."

"Oke deh. Jangan lama-lama, ya. Udah nggak sabar mau ketemu nih,"

"Jangan gitu Senja, aku jadi takut ke rumahmu."

Dan mereka tertawa bersama. Kemudian Senja mematikan sambungannya.

...

Senja mendengar suaranya dipanggil dari luar. Pasti Widi sudah datang. Senja membukakan pintu rumahnya dan melihat Widi dengan beberapa kantong plastik putih salah satunya terlihat berisi daun bawang dan rempah lainnya, dibelakangnya terlihat sepeda merah yang sudah ditempatkan di bawah pohon mangga.

"Nunggu, ya? Kesepian, ya?" Widi justru mengganggu Senja yang baru saja membuka pintu.
Senja kembali menutup pintunya dan membukanya kembali lima detik kemudian.

"Nunggu, ya? Kesepian, ya?" Widi mengulangi ucapannya tadi.

"Masuk!" Ucap Senja memberengut.

...

Senja kagum pada kemampuan Widi dalam mengolah rempah. Senja hanya membantu merebus bihun, memotong kentang menjadi tipis-tipis dan menggorengnya, memotong daun bawang, menata peralatan makan. Sudah. Sisanya dilakukan oleh Widi seorang diri. Widi pasti menjadi ibu rumah tangga yang baik suatu saat nanti. Mungkin Senja dapat belajar darinya.

"Jadi???" Widi membuyarkan lamunan Senja.

"Selesaiin dulu masakan kamu."

"Sebentar lagi selesai kok. Ini tinggal goreng beberapa potong ayam." Terdengar suara minyak panas yang digunakan untuk menggoreng ayam.

Rintik hujan di pertengahan November mulai mengguyur jalanan dan atap rumah, jendela di dapur rumah Papa ikut terkena percikan airnya. Ditemani Widi dan semangkuk soto ayam hangat, Senja mulai berbicara.

------
Saran dan kritik yang membangun sangat diperlukan untuk perbaikan.
'(*∩_∩*)′

Senja dan usainya cerita MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang