I Will Try

5 0 0
                                    

Choli sedang melamun di jendela kamarnya. Matanya setia memandangi hamparan bintang. Walaupun suhu terasa dingin, Choli tidak peduli. Karna, dia sedang mati rasa akibat kejadian siang tadi.

Kenapa Choli tidak menyadari apa yang di rasakan Aili selama ini? Choli kira, Aili adalah sosok yang pengertian.

Memang, Aili memang pengertian. Tapi, bukankah semua orang juga punya batasan? Aili hanya manusia biasa. Karna itu, dia juga punya batasan.

Seharusnya, dari awal, Choli tidak perlu menutupi ini semua. Kalau dipikir, perasaan sebanyak itu juga tidak enak dipendam sendirian.

Choli butuh Aili untuk tempat berbagi. Hanya saja, dia sedikit malu jika Aili harus tau siapa laki-laki yang Choli puja. Semua orang juga akan tau pada sekali pandang, kalau Choli tidak pantas menyukainya. Dia adalah salah satu dari deretan idola di sekolahnya. Dan Choli hanya perempuan biasa.

Terkadang, kebaikan seseorang bisa membuat suatu kesalahpahaman yang fatal. Padahal, orang itu memang berniat baik. Tergantung kita saja mau menyikapinya bagaimana.

Choli seharusnya bersyukur karna selama ini, dia di dekatkan dengan sang pujaan hati. Tidak semua orang bisa mendapat kesempatan itu. Choli beruntung.

Choli menghela nafas. "Apa aku harus jauhin kamu? Aku nggak mau persahabatan aku sama Aili rusak cuma gara-gara keegoisan aku. Aili terlalu berharga untuk ditinggalkan. Lagian, apa ada sesuatu yang berubah kalo aku jauhin kamu? Karna pada dasarnya, kita emang jauh. Jarak kita terlalu jauh. Aku ada di dasar jurang, kamu ada di ujung angkasa. Aku sadar, kok. Setiap hari aku selalu ngaca."

Saat kamu jatuh cinta, kamu pasti akan merasa bimbang. Dan saat kau ingin berhenti mencintai, apakah hatimu juga akan berhenti mencintai? Tidak semudah itu. Semua butuh proses. Dan dalam proses itu, sang soulmate sejati akan selalu mengganggumu.

"Meskipun sulit, aku harus coba. Karna sebelum mencoba, aku nggak akan tau hasilnya. Selamat tinggal, Lexi Anverno."

***

Pagi ini Choli mempunyai rencana yang keluar dari pribadinya. Maksudnya, ini sangat-sangat bukan dirinya. Dia ingin pergi ke sekolah sedikit siang dari biasanya. Asal bel masuk belum berbunyi, dia masih selamat, kan? Maka dari itu, Choli nekat untuk memulai gebrakannya.

Choli menghembuskan nafasnya, entah sudah berapa menit dia duduk di halte bus untuk menunggu jarum jamnya bergeser 90 derajat. "Huuuhhh. Ini udah cukup siang belum, sih? Aku masuk aja. Aili lama banget sih. Lima menit lagi bel udah bunyi."

Choli bangkit dari duduknya dan memperbaiki tatanan bajunya.

Saat ia berjalan memasuki gerbang, seseorang menepuk bahunya dari samping. "Aku kira, kamu nggak masuk."

Rasanya, darah Choli berdesir dan mendadak, bulu kuduknya merinding. "Lexi... kamu ngagetin aja."

Choli benar-benar tidak bisa menahan perasaanya. Seharusnya, ia bisa pergi sekarang juga dan mengabaikan Lexi. Tapi, hatinya tidak bisa melakuan itu. Dia terlalu lemah jika dibandingkan dengan perasaannya terhadap Lexi.

"Muka kamu kok kaya nyesel gitu pas ketemu sama aku?"

Choli tertangkap basah. Sedikit banyak, dia menyesal. Tapi, tidak bisa dipungkiri, rasa bahagia itu lebih besar dari rasa menyesal.

"Kok diem?"

"Maaf, aku ke kelas dulu."  Choli sudah akan berjalan meninggalkan Lexi saat Lexi tiba-tiba menangkap dengan Choli.

Astaga, jantung Choli.

Deg deg deg

"Kita bareng aja." Ajak Lexi dengan senyum yang tampak aneh.

Mistake Or FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang