Lexi tak henti-hentinya mengecek jam tangan. Masalahnya, ini hampir bel masuk dan dia sama sekali belum melihat keberadaan Choli.
"Dia kemana, sih? Kok belum dateng? Biasanya pagi-pagi udah dateng. Bentar lagi 'kan masuk!"
Lexi masih setia menunggu di gerbang sampai ia melihat sosok Aili yang sedang berjalan memasuki area sekolah.
"Aili!" Panggil Lexi.
Aili yang merasa terpanggil, menengok ke arah Lexi. Dengan sekejap, Lexi sudah berada di samping Aili.
"Ada apa?" Tanya Aili bingung. Tidak biasanya seorang Lexi memanggilnya seperti ini. Kecuali kepada Choli, mereka berdua sering bertegur sapa. Sebenarnya Aili agak bingung juga. Kenapa dari kelas sepuluh, Choli sudah sangat populer. Dia di kenal hampir satu angkatan. Banyak yang sering menyapanya. Sedangkan Aili, satu sapaan pun sudah cukup baginya.
"Choli mana? Tumben sendirian."
"Tuh 'kan. Pasti Choli." Batin Aili.
"Erm, dia nggak masuk hari ini. Katanya demam." Jawab Aili sesuai dengan keterangan yang diberikan Choli pada sms singkatnya.
"Ohh... gitu. Yaudah, gue ke kelas duluan." Jawab Lexi kemudian berlari dari hadapan Aili.
"Kamu beruntung banget, Chol. Banyak yang perhatian sama kamu. Bahkan, orang itu adalah orang yang nggak akan pernah kamu sangka bisa khawatir sama kamu. Apa ada yang salah sama aku? Bukannya sifat kita hampir sama? Kok cuma kamu yang di kenal semua orang? Padahal, setiap hari kita selalu sama-sama."
Aili menunduk.
"Ishhhh... kok aku jadi iri gini, sih? Apa kamu juga pernah iri sama aku? Aku jahat."
Bel tanda masuk berbunyi dan terpaksa, Aili harus menghentikan segala sesuatu yang melintas di benaknya. Hari ini tidak ada Choli. Dan hari ini, dia harus bisa sendiri.
***
"Bro! Kenapa gue liat dari tadi pagi lo tu nggak ada semangat-semangatnya? Apa ada masalah?" Tanya Gano setelah menepuk pundak Lexi.
"Enggak. Gue nggak apa-apa." Jawab Lexi malas.
"Ahhhh... lo nggak usah malu-malu gitu. Kalau galau, ya bilang aja. Nggak usah sok bahagia. Dari tadi juga orang-orang udah pada tau kalo lo tu lagi dalam mode awas."
"Lo kira gue gunung berapi?"
"Hehehe. Dari yang gue liat dari tadi pagi siihhh... iya."
Satu jitakan mendarat di kening Gano. "Aduh. Sakittttt."
"Rasain tuh. Gue lagi nggak mood malah lo ajak ngobrol."
"Terus gue harus gimana? Nggak ada lo, suasana jadi sepi. Gue ajakin ke kantin aja lo nggak mau. Maunya apa?"
"Maunya ketemu Choli." Jawab Lexi dalam hati.
"Woy! Kok malah ngelamun. Jawab gue dong. Hargai orang yang bertanya." Kata Gano kesal.
"Justru itu, Gan. Gue lagi males jawab. Jadi, maafin gue."
Gano tak habis pikir. Sejak tadi, dia sudah berusaha membuat Lexi sedikit terhibur.
Jangan bilang Gano tidak tau apa-apa tentang masalah Lexi.
Gano tau betul masalahnya. Dan Gano, sebagai sahabat Lexi, tidak bisa membantu apa-apa selain mencoba untuk menghiburnya. Toh, besok pasti Choli akan datang, kan? Pasti besok Lexi sudah baikan.
***
Aili makan sendirian di kantin. Dari tadi, dia melihat Gano yang berjalan memasuki kantin sendirian. Tidak biasanya Gano kemana-mana sendirian. Seperti dirinya dan Choli.
Rasanya, Aili tadi pagi melihat Lexi. Tapi, kenapa Gano sendirian? Kalau Choli, dia memang tidak masuk hari ini.
Saat sedang asyik-asyiknya berfikir, mata mereka bertemu. Keduanya sempat terdiam lalu tersenyum.
Gano mendekat ke meja Aili dan duduk disana. "Hai, Li!"
"H-hai..." Jawab Aili kaku. Sebenarnya, Aili merasa tidak nyaman begini. Karna, dia tidak akrab dengan Gano.
"Kita sama-sama lagi di tinggal soulmate, ya? Haha." Gano tertawa sambil membuka kacang kulit yang baru ia beli.
"Hmm... iya. Tapi, Lexi mana? Aku tadi pagi ada liat dia."
"Tau tu. Orangnya lagi galau."
"Galau?"
"Iya. Galau. Biasa lah, masalah cewek."
"Ohhh." Aili melanjutkan makannya tanpa menghiraukan Gano.
Gano tersenyum melihat tingkah Aili. Coba saja yang duduk disana adalah perempuan lain, pasti mereka sudah mengobrol masalah-masalah tidak penting.
"Yaudah. Kalo gitu, besok kita janji udah sama soulmate kita lagi, ya!" Kata Gano sambil berdiri satu kursi.
Aili mengangguk dan menatap kepergian Gano dengan tatapan heran. "Emangnya penting?"
***
Hari ini Lexi berangkat pagi. Dia hanya ingin berangkat secepatnya agar bisa berjalan berdua bersama Choli lagi. Dia sangat menantikan moment itu kembali lagi.
Lexi menggosokkan kedua tangannya dan menempelkannya di pipi. Menunggu Choli datang seperti ini, juga butuh perjuangan.
Lexi tersenyum. Sepertinya, Choli benar-benar hebat. Dia bisa membuat Lexi seperti ini.
Saat sedang memikirkan Choli, Lexi tidak sengaja mendengar suara bus yang datang. Banyak siswa dan siswi yang turun dari sana. Tapi, Lexi hanya menunggu satu orang.
Choli turun dari bus paling terakhir dan berjalan sambil menunduk seakan sudah hapal jalannya. Matanya asyik memainkan handphone miliknya.
Di gerbang, Lexi sudah menunggu Choli agar bisa menyapanya.
"Choli!" Sapa Lexi.
Choli hanya memandang Lexi sesaat dan mengacuhkannya. Choli berjalan lebih cepat seakan menghindar dari Lexi.
Lexi menyadarinya. "Choli kenapa? Apa aku salah? Tapi dia tadi dengar."
Jika terus berpikir, Lexi tidak akan mendapat apapun. Lebih baik, dia bertanya langsung. Lexi berlari mengejar Choli dan mencekal tangannya agar berhenti.
"Tunggu, Chol."
Choli berhenti dan berusaha melepaskan tangannya tanpa berbalik.
"Kamu kenapa?" Tanya Lexi bingung.
Tangan Choli terlepas dan secepat mungkin, Choli berlari meninggalkan Lexi yang merasa sendirian di tengah keramaian.
"Choli, lo kenapa menghindar dari gue? Apa gue ada salah sama lo? Kalo ada, lo tinggal bilang apa susahnya? Gue nggak bisa diginiin tanpa alasan yang jelas."
Lexi memandang telapak tangannya. "Apa lo benci sama gue? Tapi, apa alasannya? Gue nggak ngerti. Gue cuma pengen ngobrol sama lo. Gue cuma pengen lebih dekat sama lo. Karna saat di dekat lo, gue ngerasa nyaman."
Tiba-tiba, hati Lexi terasa teriris saat sadar, bahwa dia bukan siapa-siapa. Dia tidak berhak menanyakan itu semua. Karna memang pada dasarnya, mereka tidak punya hubungan spesial.
Dan yang lebih penting, Lexi baru saja putus hubungan dengan kekasihnya.
Lexi tertunduk, "Maafin gue, Chol. Gue nggak sadar diri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake Or Fate
Ficção Adolescente(Minor Fantasy) Mencintai orang yang terlalu sempurna begitu berat bagiku. Apalagi, ini adalah sesuatu yang baru dalam hidupku. Berbagai asumsi mengubahku menjadi seseorang yang merasa kecil di hadapannya. Aku merasa tidak pantas bahkan hanya untuk...