Mimpi Terburuk

5 0 0
                                    

Choli dan Aili sedang berjalan di koridor untuk menuju perpustakaan. Mereka berdua memeluk sejumlah buku yang harus dikembalikan hari ini.

"Chol, kok kamu kayak aneh gitu beberapa hari ini? Kamu ada masalah? Setiap aku pengen ngomong sama kamu, pasti kamu ngelamun. Nggak mau cerita, nih?"

Choli menengadahkan kepalanya dan menghembuskan nafasnya berkali-kali. Choli sedang berusaha menahan air matanya. "Aku cuma lagi pengen mikir. Apa aku pantas punya perasaan ini?"

Aili kaget. Jadi, hal yang menggangu sahabatnya ini adalah cinta. "Ternyata, itu yang kamu pikirin..."

"Li, apa rasanya jatuh cinta memang kayak gini? Aku merasa, kalau aku berusaha menjadi orang lain." Curhat Choli.

Setelah sampai, Aili dan Choli meletakan buku mereka di atas meja dan duduk berhadapan.

"Kebanyakan orang memang merasa gitu, Chol. Tapi, akan lebih baik saat kamu jatuh cinta, kamu jadi diri kamu sendiri."

Choli menunduk dan memainkan jarinya. "Aku udah berusaha. Tapi, aku nggak bisa."

"Terus, gimana, dong? Secara otomatis, kamu menghina diri kamu sendiri."

Choli terpukul saat mendengarnya. Itu bukanlah sesuatu yang dipikirkan Choli selama ini. "Maksud aku, bukan gitu. Aku suka diri aku sendiri. Karna itu aku. Tapi, nggak tau kenapa, aku merasa kalau aku nggak pantas mencintai orang lain."

Aili meraih tangan Choli dan menatap matanya dalam. "Nggak ada yang sempurna di dunia ini, Chol. Kalau kamu mencintai seseorang, jangan jadi orang lain, jadilah diri sendiri. Jangan sembunyiin diri kamu yang sebenarnya. Kalau kamu memang sayang sama cowok itu. Kejar! Perjuangkan kalau memang dia layak."

Choli hampir menangis saat mendengarnya. Tapi, entah mengapa yang keluar malah senyum palsunya. Senyum kekalahan. "Aku udah mutusin buat lupain dia, Li. Aku nggak ada niatan buat perjuangin dia. Aku nggak pantas buat dia."

"Jangan rendahin diri kamu sendiri, Chol. Dia itu beruntung banget kalo bisa dapetin kamu!"

Choli kembali tersenyum. "Makasih, Li. Kamu memang yang terbaik. Yuk, kita balik ke kelas."

Aili bangkit dari duduknya dan mengatakan pada penjaga perpustakaan bahwa mereka sudah mengembalikan buku. Setelah itu, mereka pergi keluar.

"Ehmmmmm... Aili dapet salam dari Lexi. Salam lima jari katanya." Teriak Rezi.

Sontak, Choli terkejut dan memandang Aili dengan tatapan bingung. Yang di tatap malah menunjukan muka datar.

"Apaan sih, Rez! Kurang kerjaan banget gangguin orang!" Kesal Aili.

Bukannya diam, Rezi malah tersenyum menyebalkan. "Terus yang gue liat pas itu sama Lexi siapa, dong?"

Choli kembali memandang Aili. Maksud Rezi itu apa?

"Jangan percaya sama dia ah, Chol. Ayo ke kelas." Ajak Aili berusaha untuk tidak membuat Choli curiga.

"Naahhh... ada yang salah tingkah, nih." Ejek Rezi menjadi-jadi.

"HEH! Asal kamu tau, ya! Aku tu cuma ngomong biasa sama Lexi! Nggak ada yang spesial!" Tegas Aili.

Choli membuang mukanya. Dia ingin menutup telinganya. Tapi itu tidak mungkin. Apakah benar? Aili yang selama ini tidak pernah berbicara dengan Lexi, bisa mengobrol seolah itu kebiasaan? Choli muak dengan kenyataan ini. Kenapa harus Aili? Seharusnya, itu orang lain saja.

Choli berjalan dahulu meninggalkan Aili bersama Rezi. Rasanya dia tidak sanggup mendengar perdebatan mereka.

Saat hampir sampai di kelas, Choli bertemu Lexi. Dia melihat Lexi kemudian melewatinya begitu saja. Choli terlalu lelah fisik dan batin hari ini.

Sedangkan Lexi yang melihat itu merasa teriris. Rasanya, tubuhnya seperti telah diguyur segentong air es. Begitu dingin dan membuat mati rasa.

Lexi menyerah untuk memikirkannya.

Selang beberapa menit, Lexi melihat Aili yang sedang berjalan dengan terburu-buru.

"Aili, kamu kenapa?" Tanya Lexi karna bingung dengan raut wajah Aili.

"IH! Mulut Rezi itu tolong diplester atau di aspal sekalian!" Jawab Aili ketus dan terkesan tidak nyambung.

Lexi menatap bingung Aili yang melotot ke arahnya. Saat Aili berjalan kembali, Lexi memilih untuk masuk ke dalam kelasnya. Hari ini, dia terlalu lelah. Dia tidak punya banyak tenaga untuk memikirkan semua ini.

***

Dear diary,

Hari ini adalah hari yang sulit untukku. Hari ini aku mendengar hal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Hal yang sangat buruk. Cinta segitiga.

Dia Aili.

Apakah mereka mempunyai hubungan khusus yang tidak aku ketahui? Kenapa Aili tidak menceritakannya?

Oh, benar.

Aku hampir lupa.

Aku juga sama saja. Aku hampir menutupi semua tentang dia saat ini.

Jika kau bertanya 'apakah aku rela?', aku juga tidak tau jawabannya. Hal ini terlalu tidak terduga.

Apakah aku bisa melaluinya?

Apakah aku sanggup jika pada akhirnya mereka akan bersama?

Dan kenapa hal ini bisa terjadi padaku?

Ini cinta pertamaku. Tidak bisakah Kau membiarkan aku bahagia? Itu saja yang aku inginkan saat ini.

Lebih baik, besok, aku tidak mendengar apapun tentang hal yang sama. Jika tidak, aku bisa gila.

Choli menutup diarynya dan menyimpannya ke dalam laci. Matanya penuh dengan air mata. Tapi, dia sama sekali tidak terisak. Hatinya terasa kosong. Seakan ada lubang besar yang menganga disana.

Baguslah karna besok adalah hari minggu. Jadi dia bisa menenangkan diri untuk satu hari. Apa itu cukup? Tidak. Itu tidak cukup. Bahkan mungkin dia butuh waktu selama mungkin yang bisa dia bayangkan.

Ini aneh. Sudah beberapa jam berlalu, tapi perkataan Rezi terus terulang dalam otak Choli bagai kaset rusak. Choli ingin berhenti memikirkan ini. Dia tidak bisa hidup tenang jika pikirannya hanya tertuju pada satu titik yang membuat dunianya berhenti.

Dimana Choli bisa mengadu tentang ini? Tentu, ibunya bukanlah pilihan yang bagus saat ini. Aili? Itu sangat tidak mungkin. Rasanya, Choli ingin menulis lagi sampai hatinya terasa tenang. Tapi, dia tidak bisa melakukannya. Dia takut jika nanti, saat dia menulis semua dengan detail, dan saat dia akan kembali membacanya, dia akan merasakan luka yang sama.

Luka ini, cukup untuk masa ini saja. Mimpi buruk ini, cukup untuk masa ini saja.

Choli membuka jendela. Membiarkan angin malam yang dingin memasuki kamarnya. Di atas sana, bulan dan bintang sedang bersinar dengan terangnya. Meskipun, bulan sedang tidak purnama malam ini.

"Mungkin, aku dan dia kayak bulan dan bintang. Dia bulannya dan aku bintangnya. Bulan akan lebih mudah dikenali karna keindahannya yang mencolok dan berbeda dari yang lain. Sedangkan bintang, bintang tidak seperti bulan. Bintang itu banyak dan semuanya hampir sama. Orang akan sulit mencari bintang yang sama pada malam yang berbeda. Apalagi, aku hanya sebuah bintang kecil di antara bintang yang lainnya. Bulan tidak akan pernah menyadari adanya bintang kecil sepertiku. Bulan terlalu mewah untuk sebuah bintang kecil."

Choli mengusap air matanya yang jatuh. Dia ingin menangis malam ini. Waktu yang sempurna. Karna dia sedang tidak sendirian. Banyak bintang di atas sana. Dan bulan sedang melihat ke arah lain. Bulan tidak melihatnya. Buktinya, bulan itu hanya setengah. Seakan, dia sedang memandang orang lain dan tentu saja bukan dirinya.

Mistake Or FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang