Chapter 1

2.4K 118 2
                                    

Sebulan yang lalu ...

Seorang pemuda jangkung tengah berjalan menyusuri lorong sebuah apartemen, kedua tangannya tampak sibuk meneteng dua kantong plastik putih berukuran besar. Entahlah, apa yang dibawa pemuda berkepala plontos itu. Wajah tampannya tampak berbinar, bibirnya mengulum senyum lebar, tak sabar ingin segera melepas rindu yang terpendam selama sembilan bulan lamanya.

Arfan—pemuda tampan itu—menghentikan langkah ketika kaki panjangnya sampai di depan pintu sebuah apartemen dengan nomor 232. Dengan susah payah, akhirnya ia berhasil menekan bel yang terletak di samping kanan pintu, memberitahukan keberadaannya kepada seseorang di dalam sana.

Tak berapa lama, pintu satu daun itu terbuka sedikit, menampakkan seorang gadis berparas ayu yang sudah mencuri hatinya sejak tiga tahun lalu, di saat mereka bertemu di acara reuni SMP.

"Surprise!" Arfan mengangkat kedua kantong plastik itu tinggi-tinggi di samping kepalanya.

Gadis di depan Arfan hanya berdiri termangu, tak menyangka jika ia bisa bertemu dengan sang kekasih secepat ini. Ia berpikir akan bertemu dengan kekasihnya satu atau dua tahun lagi, seperti tahun lalu.

Arfan menurunkan kembali kantong plastik yang dibawanya tadi, bibir pemuda itu mengerucut, tak senang dengan reaksi yang ditunjukkan sang kekasih. "Kok kamu enggak bahagia, sih? Kamu enggak suka aku kem—"

Belum sempat Arfan melanjutkan kalimatnya, Dara—sang gadis—sudah menubruk tubuhnya, memeluk erat tubuh kukuh itu, seakan-akan tidak ingin melepasnya. "Aku senang. Banget malahan." Dara semakin dalam membenamkan kepalanya di dada bidang sang kekasih, menyalurkan rindu yang sudah mengebu-gebu di ruang hatinya. "Kenapa kamu enggak bilang kalau mau pulang?" Suara gadis itu terdengar kecewa, tetapi garis tipis yang membingkai bibirnya itu tak pernah pudar sedikit pun.

Arfan mengulum senyum tipis, tangannya yang masih sibuk meneteng kantong plastik itu mengusap punggung Dara dengan lembut, memberikan sentuhan kasih sayang. "Kalau aku kasih tahu kamu, itu bukan surprise namanya."

Dara melepaskan pelukan Arfan secara paksa, mengerucutkan bibir mungilnya, mirip seperti anak kecil yang merajuk ketika tidak dibelikan mainan.

Arfan mencondongkan tubuh ke depan agar bisa menatap wajah cantik Dara lebih dekat lagi, maklumlah tinggi gadis itu lima belas senti lebih rendah dari tingginya. "Jangan cemberut! Itu membuat aku semakin ingin mencium kamu."

Gadis berkucir kuda itu mencebikkan bibir, kemudian mengamit lengan kekar sang kekasih, mengajaknya untuk masuk ke dalam apartemen.

Arfan melenggang pergi menuju dapur yang berada di samping ruang tamu, meletakkan dua kantong plastik berukuran besar tadi di atas pantri. "Apa kamu lupa ini hari apa?"

Mendengar pertanyaan dari sang kekasih, membuat Dara mengurungkan niat untuk duduk di sofa ruang tamu. Kaki jenjang gadis itu melangkah, mendekati sumber suara seraya memikirkan hari apa yang dimaksud sang kekasih.

Dara menyandarkan tubuhnya pada tembok yang menjadi penyekat antara dapur dan ruang tamu. Melipat kedua tangan di depan dada seraya melemparkan tatapan bingung ke arah pemuda yang saat ini tengah sibuk mengeluarkan sesuatu dari kantong plastik. "Aku sangat ingat. Bukankah hari ini hari sabtu? Hari di mana aku bisa sepuasnya menghabiskan weekend di apartemen kecil ini," candanya. Tentu saja, ia tahu bukan ini maksud dari pertanyaan Arfan. Ada hari spesial di balik hari sabtu ini. Namun, ia sendiri lupa dengan apa yang terjadi pada hari ini.

Arfan mengembuskan napas kesal, kemudian memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat agar bisa menatap wajah teduh sang kekasih dengan leluasa. "Hari ini adalah tahun ketiga kita jadian."

Air Mata Dara (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang