Chapter 6

1.2K 92 1
                                    

Seminggu kemudian, tepat dua hari setelah acara peringatan tujuh hari kematian Arfan, Dara dan Alvin melangsungkan prosesi ijab qabul yang hanya dihadiri oleh kerabat dari kedua belah pihak. Ini adalah kemauan dari Bu Nifa sendiri. Toh, setelah anak itu lahir, Bu Nifa akan menyuruh Alvin untuk menceraikan Dara karena dia tidak akan membutuhkan wanita yang selalu bernasib malang itu lagi.

Saat ini, Dara tengah menatap pantulan dirinya di cermin meja rias. Wanita hamil itu tampak cantik mengenakan kebaya putih dengan riasan yang tak terlalu menor. Rambut hitamnya pun disanggul sedemikian rupa hingga menambah kesan cantik yang melekat pada dirinya. Meski letih karena melewati proses ijab qabul satu jam yang lalu, wajahnya masih terlihat ayu dan meneduhkan. Setiap orang yang pertama kali melihat wajah cantiknya, tak akan pernah bosan untuk terus menatap. Mungkin, hal itu tak berlaku bagi Bu Nifa yang saat ini sudah resmi menjadi ibu mertuanya.

Dara menunduk, menatap cincin emas dengan hiasan tiga buah permata putih di tengah serta ukiran nama sang suami—Alvin. Kini, cincin di jari manisnya adalah cincin pernikahan yang disematkan oleh sang suami, yaitu Alvin Zaidan Adiwangsa, bukan Arfan Putra Adiwangsa.

Dara memutar tubuh, membelakangi cermin yang sedari tadi ia tatap. Mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dengan dominasi warna putih gading yang saat ini menjadi kamarnya seorang. Ya, Dara dan Alvin akan tidur di ranjang dan juga kamar yang berbeda. Itu juga peraturan yang ditetapkan oleh Bu Nifa.

Dara menghela napas panjang. Setidaknya, Bu Nifa masih berbaik hati membiarkan dirinya di atas kasur empuk. Toh, jika mereka satu kamar, pasti ada salah satu di antara mereka yang merasa canggung. Tentu saja, itu akan membuat tidur mereka tak akan pernah nyenyak. Apalagi, belum tentu, pernikahan mereka sah di mata agama karena Alvin menikahi Dara ketika wanita itu dalam keadaan hamil, sedangkan bukan Alvin yang menghamilinya.

Wanita hamil itu beranjak dari kursi rias menuju ranjang queen size yang berada di tengah kamar. Menghempaskan pantatnya di sisi ranjang. Mengusap lembut seprai berwarna biru dengan motif bunga-bunga yang membalut kasur empuk itu. Tak terasa, bulir bening menetes, membasahi seprai hingga menimbulkan bekas yang sangat kentara. "Seharusnya kamu yang tidur bersamaku di sini, Ar?" Dara terisak, kemudian menggigit bibir bawahnya dengan kuat. "Kenapa kamu mengingkari janji kamu, Ar?"

Dara menutup wajah menggunakan kedua belah tangan, berusaha menyembunyikan wajahnya yang terlihat begitu menyedihkan. Dia beralih mengusap perut ratanya dengan lembut. "Tak tahu kamu, sekarang ... anak kita sedang tumbuh di rahimku?" Suara wanita itu semakin lirih, tak mampu mengatakan apa pun lagi.

***

Dara bersiap-siap untuk tidur, merengangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Namun, ketukan pada pintu kamar, membuat ia mengurungkan rencananya. Dengan langkah gontai, ia membuka pintu satu daun berwarna putih itu. Seorang pria jangkung berdiri tepat di depan pintu, Dara mendongak untuk melihat wajah pria itu Alvin—pria yang beberapa jam lalu telah resmi menjadi suaminya, kini berdiri tepat di depannya.

"Kak Alvin?"

"Boleh aku masuk?"

Dara membuka pintu semakin lebar, mempersilahkan Alvin untuk masuk ke dalam kamarnya. "Silahkan, Kak."

Pria tampan itu melangkahkan kaki panjangnya menuju ranjang, kemudian menghempaskan pantatnya di atas kasur empuk nan hangat, diikuti oleh Dara yang mengekor. Wanita itu duduk agak jauh dari sang suami, seperti menciptakan jarak di antara mereka.

Suasana sempat hening, tak ada dari mereka yang ingin mengawali pembicaraan. Mereka sama-sama sibuk memikirkan bagaimana cara mengawali percakapan di suasana canggung seperti ini.

Alvin berdeham, mengoyak keheningan. "Kamu pasti merasa tersiksa dengan pernikahan ini dan juga peraturan yang dibuat Mama?"

Dara merunduk, menyembunyikan senyuman getir yang terkulum di bibirnya. "Tidak, Kak. Aku senang jika bisa melakukan yang terbaik untuk calon anakku, meski harus mengorbankan perasaanku." Perkatannya tak sepenuhnya berisi dusta belaka. Meski, tak nyaman dengan pernikahan yang begitu tiba-tiba—apalagi menikah dengan kakak dari sang kekasih, tetapi ia merasa senang karena akhirnya calon buah hatinya memiliki status.

Alvin menganggut-anggut. Netra dengan iris cokelat itu menatap wajah cantik Dara dari samping. "Perjalanan kita masih panjang. Semoga kamu bisa bertahan," ujarnya membuat dahi Dara mengerut.

Air Mata Dara (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang