Prolog

3.3K 158 2
                                    

Engkau meninggalkanku bersama dengan kenangan indah yang sengaja engkau ciptakan agar aku tak mudah melupakan dirimu ...

Langit biru di atas Taman Makam Pahlawan itu tampak terselimuti awan hitam pekat, menambah kepekatan di dalam hidup seorang wanita yang saat ini tengah duduk bersimpuh di depan gundukan tanah merah. Prosesi pemakaman secara militer itu sudah berakhir dua jam yang lalu, hanya dia yang tersisa di sana dengan hujan dan petir yang menemani. Meskipun begitu, ia tak beranjak sedikit pun dari tempatnya.

Tangan wanita berparas ayu itu terjulur, mengusap lembut nisan batu dengan ukiran nama sang calon suami yang gugur di medan latihan.

"Lettu Arfan Putra Adiwangsa." Wanita itu tersenyum getir saat mengucapkan nama lengkap sang pujaan hati yang harusnya ia dengar saat prosesi ijab qabul.

Rinai hujan semakin lama bertambah deras, membuat gundukan tanah merah yang diselimuti taburan bunga itu semakin basah. Semerbak dari bunga yang baru saja ditabur di atas tanah merah itu seketika menyeruak masuk ke dalam indra pencium, membuatnya semakin sulit bernapas.

Air mata wanita itu semakin deras, mengalir bersama air hujan yang jatuh ke bumi. Menatap lekat bingkai foto yang menampakkan calon suaminya tengah tersenyum lebar dengan mengenakan seragam militer lengkap dengan baret berwarna hijau, menambah pemuda itu semakin tampan dan gagah.
Bibir wanita itu bergetar hebat, menahan nyeri di ulu hati.

Tangannya terulur, ingin menyentuh foto tersebut. Namun, tangannya terhenti di atas udara, tak kuasa menyentuh foto berukuran 30x40 sentimeter . Jangankan menyenuh, menatap saja sudah membuat air matanya tumpah ruah.

"Kenapa kamu meninggalkan aku secepat ini, Ar?" Wanita ayu itu terisak pelan. "Bukankah kamu janji akan kembali untuk menikahiku?" Kedua tangannya meremas kuat segumpal tanah merah itu. "Mana janji kamu? Dasar pembohong!"

Dara-wanita itu-memeluk gundukan tanah yang masih merah itu, tak peduli jika nanti bajunya akan kotor. Wanita itu hanya ingin bersama dengan pria yang telah mencuri hatinya tiga tahun silam.

Hujan yang semakin deras, petir menyambar-nyambar di atas langit, tak membuat wanita beriris hitam pekat itu beranjak dari tempatnya. Bibir yang awalnya terpoles lip gloss natural itu berubah menjadi pucat dengan sedikit pecah-pecah, membuat kondisinya semakin terlihat mengenaskan.

Seorang pria dengan setelan kemeja dan celana kain berwarna hitam yang berada tak jauh dari makam Arfan, menatap Dara dengan lekat di balik kaca mata hitamnya. Pria jangkung itu tersenyum sinis melihat Dara yang masih setia duduk di samping makam, meski prosesi pemakaman telah usai sejak dua jam yang lalu. Ia patut memberikan applause atas kegigihan wanita itu. Entahlah, dia wanita gigih atau wanita bodoh. Percuma saja ia duduk selama apa pun di sana, tidak akan membuat orang yang terkubur di dalam tanah merah itu hidup kembali.

Pria penuh karismatik itu memasukkan tangan kirinya di saku celana, sedangkan tangan kanannya sibuk memegang payung besar untuk menutupi tubuh atletisnya agar tidak basah karena guyuran air hujan. Netra dengan iris cokelat itu masih setia menatap Dara yang masih terisak di dalam tangisnya. Sudut bibir pria itu terangkat, membentuk seulas senyum sinis.

"Dasar wanita bodoh!" ujarnya lirih, tetapi sarkastis.

A/N
Lettu : Letnan Satu

30 Juli 2017

Air Mata Dara (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang