Chapter 2

1.6K 103 0
                                    

Seorang pria jangkung dengan bajunya yang basah kuyup tengah berseliweran di depan ruang Unit Gawat Darurat sebuah rumah sakit besar di bilangan Jakarta Selatan, harap-harap cemas menunggu hasil pemeriksaan dokter tentang kondisi wanita yang terbujur lemah di dalam sana.

Merasa jenuh dengan apa yang ia lakukan sejak dua puluh menit lalu, pria itu membuang pantatnya di salah satu kursi ruang tunggu yang sengaja disediakan oleh pihak rumah sakit untuk keluarga pasien. Pria karismatik itu mengusap wajah letihnya dengan kasar, frustrasi dengan masalah yang datang silih berganti.

Pintu Unit Gawat Darurat yang terbuat dari kaca bening itu terbuka secara perlahan, menampakkan seorang dokter dengan wajah meneduhkan. Dengan langkah tergesa, Alvin-pria jangkung-menghampiri dokter yang ia perkirakan usianya sekitar tiga puluh tahun ke atas.

Selama beberapa detik, dokter cantik itu menatap Alvin dari ujung kaki hingga ujung kepala, mungkin ia bertanya-tanya, mengapa pria itu memakai baju serba hitam, sama seperti yang dikenakan oleh wanita di dalam ruang UGD-notabene adalah rekan kerjanya.

"Apa Anda kekasih dari Suster Dara?" Dokter ber-name tag Suzan itu bertanya dengan sangat hati-hati.

Belum sempat Alvin menanyakan kondisi Dara, dokter itu sudah terlebih dahulu melemparinya pertanyaan yang membuat dahinya mengerut.

"Suster? Dia perawat di rumah sakit ini?" tanya Alvin lirih yang ia tujukan kepada dirinya sendiri.

"Bukan, Dok. Dia adalah kekasih almahum adik saya."

Dokter Suzan tampak menganggut, mengerti dengan penjelasan singkat pria di depannya. Wajah ayu wanita itu berubah sendu. Ia baru mengerti penyebab rekan kerja yang sudah ia anggap sebagai adik sendiri itu sampai drop dan akhirnya jatuh pingsan. Ia sangat tahu bagaimana latar belakang Dara. Wanita malang itu adalah sebatang kara sejak usianya menginjak dua puluh tahun. Ia hanya tinggal dengan sang ibu di sebuah rumah kontrakan. Entah, di mana ayahnya berada, wanita itu tak pernah sekali pun bertemu dengan pria yang harusnya ia panggil 'Ayah' sejak kedua orang tuanya memutuskan untuk berpisah. Puncaknya, sang ibu meninggal lima tahun lalu, meninggalkan Dara seorang diri. Itu adalah sepenggal kisah haru yang didengar oleh Dokter Suzan dari Dara sendiri yang membuat hati Dokter Suzan tergerak untuk selalu berada di samping Dara hingga ia telah menganggap wanita malang itu sebagai adiknya sendiri.

Sudut mata Dokter Suzan tampak berair tatkala mengingat kisah hidup Dara yang begitu memilukan yang saat ini masih terpatri di dalam memorinya. Namun, apa yang dialami Dara saat ini, cukup membuat wanita berwajah keibuan itu tak berdaya.

"Bagaimana kondisinya, Dok?"

Suara berat milik Alvin menyadarkan Dokter Suzan dari lamunannya. Wanita berparas meneduhkan itu menghela napas sebelum memberi tahu kondisi Dara yang sebenarnya. Bagaimanapun, pria tampan di depannya adalah wali dari Dara karena dia yang telah membawa Dara kemari.

"Saya tidak tahu, ini berita buruk atau baik bagi Anda ataupun pasien." Dokter Suzan menghela napas panjang untuk sekian kali, menguatkan dirinya sendiri. "Berdasarkan pemeriksaan saya ... pasien sedang hamil tiga minggu."

Alvin membeliak seketika, tak percaya dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Dokter Suzan. Bagaimana mungkin Dara yang notabene adalah kekasih adiknya itu dinyatakan hamil, bahkan beberapa jam setelah Arfan dimakamkan? Sulit baginya untuk menerima semua itu. Namun, dilihat dari wajah wanita itu, ia sangat yakin Dara tidak mungkin mengkhianati adiknya, tetapi tetap saja, segala kemungkinan bisa saja terjadi.

***

Setelah Dara dipindahkan ke ruang inap, Alvin siap siaga berada di samping wanita yang masih berstatus sebagai kekasih dari almarhum adik kandungnya.

Air Mata Dara (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang