Chapter 13

1.5K 109 6
                                    

Sebaik apa pun kamu menyembunyikan sebuah kebenaran, lambat laun kebenaran itu akan terungkap.

Dua bulan kemudian ...

Suara dering telepon rumah berbunyi nyaring, mengoyak kesunyian di pagi hari yang sedikit mendung. Telepon berdering tiada henti, menunggu seseorang untuk mengangkatnya. Namun,udara pagi yang lebih dingin daripada kemarin membuat semua orang di dalam rumah mewah itu enggan melalukan aktivitas pada waktu sepagi ini.

Tak berapa lama, seorang wanita paruh baya lengkap dengan daster lusuhnya berjalan tergopoh-gopoh menghampiri sumber suara. Namun, seorang wanita muda yang baru saja keluar dari ruangan di lantai bawah mencegahnya secara halus.

"Biar saya saja, Bi," ujarnya lembut, tak lupa mengulum senyum termanis yang ia miliki.

Bi Ijah mengangguk. Kaki tuanya melangkah menuju dapur, melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda.

"Halo," sapa Dara ketika gagang telepon itu sudah ia letakkan di telinga kanannya. "Dengan siapa, ya?" tanyanya seraya memainkan kabel telepon.

"Halo. Kami dari pihak rumah sakit jiwa " Suara lembut milik seorang wanita menyapa indra pendengarnya.

Dara menghentikan aktivitas—memainkan kabel telepon. Alis hitamnya terangkat tinggi. "Rumah sakit jiwa?"

"Siapa, Dara?" Suara bariton milik seorang pria yang berasal dari anak tangga menginterupsi.

Dara memalingkan muka. Menutup telepon dengan tangannya. "Dari rumah sakit jiwa, Kak," ujarnya lirih, takut jika nanti seseorang di seberang telepon mendengar.

"Dari rumah sakit jiwa?!"

Suara seorang wanita menggelegar di seluruh penjuru ruang diiringi dengan bunyi nyaring yang timbul karena high heels merahnya beradu dengan lantai marmer. Wanita berusia setarngah abad itu melayangkan tatapan tajam ke arah Dara. Merebut gagang telepon secera paksa dari genggaman menantunya.

Plak!

Nifa melayangkan tamparan keras tepat di pipi kanan Dara. Perih Itulah yang saat ini ia rasakan. Bukan hanya di pipi, tetapi juga di ulu hati. Buliran bening lolos begitu saja, aliran kecil di pipinya yang mulai tembam. Wanita malang itu merunduk dalam, memegang pipi kanannya yang memerah karena tamparan Nifa yang cukup keras.

"Memangnya kamu siapa, hah?! Berani sekali kamu mengangkat telepon yang jelas-jelas ditujukan kepada saya!" Nifa berteriak tepat di depan wajah Dara, membuat wanita muda itu sedikit berjengit saking kagetnya.

"Ma!" Alvin menuruni satu per satu anak tangga yang tersisa dengan langkah bergesa, menghampiri dua wanita yang sama-sama penting dalam hidupnya. "Mama apa-apain, sih?!" Nada bicara Alvin naik satu oktaf, tak tahan lagi melihat sikap mamanya yang semakin hari semakin menjadi.

Nifa melirik Alvin sekilas, kemudian menatap tajam menantunya yang masih menunduk dengan iringan sedu sedan. Ia mendorong bahu Dara cukup keras hingga nyaris membuat wanita hamil itu terjungkal. Namun, dengan sigap, Alvin menopang bahu sang istri yang sangat rapuh.

"Kenapa kamu diam saja, hah?!"

"Ma-maafkan Dara, Ma." Dara tergugu seraya mengusap ingus yang mulai menghambat pernapasan. "Dara ... Dara tidak tahu kalau telepon itu ditujukan kepada Mama. Lagipula—"

"Lagipula apa?!"

"Ma!" Alvin mendengakkan kepala. Mengembuskan napas panjang, berusaha menetralisir emosinya. "Alvin mohon hentikan! Ini hanya masalah sepele, kenapa harus dibesar-besarkan, sih?" Dada bidangnya terlihat naik turun. Deru napasnya terdengar tak beraturan. Pria karismatik itu benar-benar dilingkupi rasa amarah yang cukup besar.

Air Mata Dara (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang