Senja (1) : Rumah

184 12 3
                                    


Kedebak... kedebuk... kedebak

Hari itu, Pasar malam di kawasan Jakarta selatan, semakin terdengar bising, karna suara terpaan kaki, saling berkejaran.

Beberapa wanita dengan pakaian lima cm diatas paha _ gaun dengan belahan dada terekspos, membangunkan nafsu para kaum adam_ berhambur berlarian masuk kekawasan pasar malam.

Para pengunjung saling melempar pandang , bertanya-tanya perihal apa yang menyebabkan teriakan wanita-wanita itu. Satu-satunya tempat yang mereka pikir terdengar paling berisik, hanya rumah hantu. tapi Rumah hantu tidak semenyeramkan itu menurut mereka, suara-suara itu datang dari arah pintu masuk. Semakin terdengar ramai, hingga suara dentuman pistol menggema, disusul beberapa polisi yang memasuki kawasan pasar malam selang beberapa menit setelah wanita-wanita itu. Semua orang mendadak panik, Seruan untuk berlari bersahutan, hingga refleks membuat para pengunjung turut berhamburan. Takut-takut telah terjadi sesuatu. Terlebih para pedagang disana, sudah terlebih dahulu berlarian entah kemana. Berpikir mungkin mereka akan ditangkap. Orang-orang telah salah mengartikan akan kehadiran polisi. Mereka tidak benar-benar tahu apa yang sedang terjadi.

Orang-orang berseragam dengan jumlah hampir dua puluhan itu, tengah menggerebek sebuah gedung karaoke, berjarak beberapa meter dari pasar malam diadakan. Bangunan dengan luas 30×40 m, tingkat tujuh. Mungkin tidak terlalu besar bagi orang-orang dengan kantong tebal, sekalangan CEO. Tapi jangan salah, meski dengan luas hanya dapat menampung berapa puluh orang, bangunan itu sangat dikenal dikalangan pejabat daerah, tak elak jika beberapa CEO juga sering terdampar disana. Bangunan yang berdiri hampir sepuluh tahunan itu, menjadi tempat pelepas lelah bagi orang-orang yang membutuhkan hiburan tanpa sebuah aturan. Namun sepertinya, hiburan itu akan berakhir malam ini, terbukti dengan polisi yang dapat menemukan gedung karaoke yang dibaliknya ternyata merupakan tempat prostitusi. Tempat para orang berdompet tebal mengeluarkan beberapa lembar uang, atau selembar cek dengan nominal tertulis, hanya untuk mendapatkan sebuah kenikmatan dunia.

"Untung saja Aku berlari tepat saat polisi-polisi itu hendak mengepung," ucap Zahra-gadis bermata indah bak bintang kejora, dengan hidung yang sedikit bangir- dengan nafas tersengal.

Zahra melirik kebelakang tak menemukan tanda-tanda pria dan beberapa wanita berseragam khas dengan rambut ala polisinya- sebahu lebih pendek. Ia bahkan tak lagi mendengar suara pistol berdembum, peringatan untuk berhenti. Itu artinya wanita itu sudah berada jauh dari jangkauan polisi, tepatnya dalam situasi yang aman.

"Kau benar-benar tahu saatnya untuk berlari," ucap wanita diseberang Zahra, sama seperti Zahra wanita yang namanya tidak Zahra ketahui itu, kehabisan nafas, karna berlari terlalu jauh dan cepat.

Zahra menengok, mengangkat bahu, sambil memelankan langkahnya dan terkekeh, "Benarkah?," balasnya dengan nafas yang lebih teratur. tidak seperti tadi berdetak ketakutan, berakhir ditangan polisi, tidak lagi Zahra inginkan. Ia tak mau mendekam disel, ada sesuatu yang lebih bisa membuatnya ingin tetap dirumah mungilnya saat ini.

"Mungkin jika Aku tidak mengikutimu, saat Kau menyuruhku untuk lari tadi, Aku pasti sudah berakhir di tangan-tangan pria sok adil itu," hardik wanita itu dengan tatapan yang benar-benar menunjukkan kekesalan.

Tak akan heran, jika ada orang yang menyebut polisi adalah orang-orang bermuka dua. Karna sekarang, polisi sudah tercemar dikalangan masyarakat. Tingkat kepercayaan menurun, hanya karna 90% dari profesi berseragam itu, terisi dengan orang-orang yang haus akan uang. Mereka tak lagi bekerja untuk negara, melainkan untuk orang yang lebih bisa menjamin hidup mereka

"Aku sudah terbiasa berlari. Jadi Aku tahu saatnya dimana aku harus mengangkat kaki dan berlari sekuat mungkin."

"Apa Kau seorang pelari maraton?".

Senja.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang