II. Senja : ingatan itu

84 9 0
                                    

Kebencian yang nyata tidak datang dari orang, namun datang darimu sendiri. Katanya. Dan sekarang aku tengah membenci diriku lebih dari bagaimana orang membenciku.

zahra

Jakarta, 2013

"Kau benar-benar yang terbaik Zahra." kekeh pria agak dewasa yang kini tengah mengacingkan bajunya, "Aku senang bahwa madam Liana memilikimu sebagai wanita penghibur," sambung pria itu lagi, wajah penuh kepuasan terpatri dengan sangat jelas di setiap jengkal wajahnya, berbeda dengan apa yang kini terlihat di wajah Zahra.

"Kita akan bertemu nanti lagi, Zahra sayang," ucap pria itu, Ia sempat mencium puncak kepala Zahra sebelum akhirnya menghilang dibalik pintu.

Zahra tak berniat melihat detik-detik kepergian prianya yang keberapa. Ia hanya melingkup dalam selimut, memejamkan matanya dengan kuat. perkataan Sebastian_ pelanggan Zahra malam ini_ Tidak Ia dengar. meski itu sebuah pujian untuk jasa pijatnya. bahkan Zahra tak menengok, dan melihat berapa lembar uang yang Sebastian berikan sebagai tifsnya. tifs yang pria berikan jika wanita seperti Zahra berhasil memuaskan. lain lagi Harga yang sudah para pria itu berikan pada Liana _Bos yang mengontrol para wanita yang menjadi pemuas nafsu_.

Sekali lagi Zahra menghela nafas, membiarkan pikirannya berkelana setelah kegiatan panasnya dengan Sebastian tadi. Zahra tak berani membuka mata, melihat tubuhnya yang mungkin sudah terpenuhi jejak merah yang membutuhkan waktu lumayan lama untuk menghilang. karna melihat itu hanya akan membuatnya mendadak mual, bukan karna pria yang tadi bercinta denganya adalah seorang pria dewasa berumur 30-an. bahkan Zahra pernah melakukan itu dengan kakek-kakek pun sebayanya pula. Tapi semua itu selalu meninggalkan jejak yang membuat Zahra tidak mau menatap dirinya sendiri.

Zahra pernah berpikir ingin mengakhiri hidup atau kabur dari tempat ini. tapi Ia selalu tidak bisa, karna bangunan laknat yang mulai Ia benci, adalah tempat yang tak akan pernah bisa Ia tinggalkan. Tidak akan pernah.

"Apa aku mengganggu?," suara menggoda dari balik pintu membuat Zahra membuka mata, Ia sudah hapal betul bahwa suara itu tak lain Audy, sahabatnya.

Zahra diam, Ia tak perlu menjawab, toh juga Audy akan tetap masuk meski Ia mengatakan tidak.

"Sepertinya kau benar-benar sudah melewati sesuatu yang panas dan bergairah, hingga tak sempat untuk beranjak barang sedetikpun kekamar mandi," Goda Audy. Ia melihat tubuh Zahra yang masih polos hanya dibaluti selimut putih tebal.

"Rasanya masih sama." Gumam Zahra pelan sambil memejamkan matanya malas. Wanita itu telah berubah menjadi sedikit lebih dingin.

"Tapi sepertinya aku melihat wajah kepuasan di wajah pria yang keluar dari kamarmu ini."

"Karna Aku sudah sangat berhasil bertingkah seperti jalangnya," Dilihatnya Audy sekilas.

Zahra menyunggingkan senyum pahit. Hidup itu tidak adil. Zahra percaya dengan nasihat lama itu.

"Zahra..." Zahra menaikkan alis, menatap kearah Audy yang terlihat tidak suka dengan ungkapan kata jalang yang Ia sebutkan.

"Apa? Aku memang jalang, Dee." ucap Zahra dengan santai, tanpa memperdulikan raut wajah Audy yang memucat karna marah.

"Jika kau jalang maka aku juga jalang! jika kau buruk maka aku adalah yang sangat buruk. yang kau lakukan masih belum seberapa dari apa yang aku lakukan. Zahra." Bantah wanita itu dengan nada tinggi.

Suara kemarahan dari Audy, Tidak membuat nyali Zahra menciut. Ia sudah cukup mengenal Audy, sangat cukup hingga tahu bahwa wanita itu tidak benar-benar marah padanya sekarang. melainkan hanya untuk menghentikanya menggunakan kata-kata kasar seperti jalang sebagai sebutan untuk pekerjaan mereka.

suasana menjadi hening. hingga Zahra mengucapkan sesuatu yang seharusnya membuat Audy sadar, dari dulu.

"Kau masih bisa memilih untuk pergi bukan?."

Audy terdiam.

Ya! dia masih bisa punya pilihan bukan. dia masih bisa pergi dan tak perlu menghabiskan tiap jamnya untuk melayani para pria. lalu kenapa?

Tidak! Audy menggeleng dengan tegas. jika Ia pergi,,, bagaimana dengan sekolah adiknya, pengobatan ibunya, biaya operasi, bagaimana bisa Ia mendapatkan Uang yang cukup untuk memenuhi semua itu, jika Ia pergi dari sini.

Seperti tahu apa yang Audy pikirkan Zahra bangun dari tidurnya, sebelumnya ia mengangkat selimut yang ia kenakan untuk menutupi tubuhnya yang telanjang. bergerak mendekat kearah Audy

"Masih banyak cara yang lebih baik untuk mendapatkan uang, Dee. kau bisa melakukan apapun untuk mendapatkan uang tapi tidak dengan menjual tubuhmu. kau pikir bagaimana reaksi ibu jika Ia tahu, kau mendapatkan biaya operasinya dengan cara yang seperti ini." Zahra mengucapkan itu dengan lembut sembari mengusap bahu Audy dengan pelan.

Kau harus mengakhiri semuanya Dee. Kau tidak boleh sepertiku.

"Dia tidak akan tahu, Zahra." lirih Audy. sahabatnya benar, tapi entah kenapa Audy tidak bisa menuruti perkataan Zahra.

"Kau harus pergi dari sini."

Audy kembali menggeleng.

"Kalau begitu, kenapa Kau tidak pergi juga."

skakmat. Zahra tahu ucapan itu akan berbalik padanya. Ia tahu setiap pertanyaan itu telontar selalu memukulnya dengan telak. tapi tenang saja, wanita itu sudah tahu jawaban apa yang harus ia keluarkan, jawaban yang sama, berulang kali setiap orang menanyakan tentang hal serupa.

"Karna ini tempatku Dee. bukankah seseorang tidak akan meninggalkan tempatnya." Zahra berucap dengan nada tenang, namun itu tidak membuat Audy melupakan tatapan terluka Zahra saat mengucapkan itu. Audy tidak bicara apa-apa, karna Ia tahu luka sahabatnya itu sangat besar, hingga tak bisa lagi tersembuhkan.

"Kalau begitu aku juga tidak bisa pergi. tempat ini juga sudah menjadi rumah keduaku Zahra..aku juga tak akan bisa meninggalkanmu sendirian disini." Tidak dengan segala hal yang berusaha kau tahan.

"jangan bodoh!." bentak Zahra. Ia tak habis pikir dengan keraskepala wanita yang akrab Ia panggil Dee itu.

"Tentu saja tidak."

Zahra menghela nafas kesal, entah ini kali keberapa Ia mengingatkan Audy, tapi sepertinya sahabatnya itu tidak akan pernah beranjak dari tempat ini.

"Terserahmu kalau seperti itu, Aku sudah memperingatkanmu berulang kali. jadi jika Kau menyesal nanti, jangan datang padaku lalu merengek-rengek seperti anak kecil." peringat Zahra.

"Dibanding merengek padamu. aku akan lebih tertarik menyandarkan kepalaku pada bahu para pria, yang nantinya akan membuatku berakhir dengan keringat bercucuran." Audy berbicara sambil mengedip-ngedipkan mata. lalu tertawa terbahak-bahak.

Meski tidak suka dengan apa yang diucapkan sahabatnya, Zahra tetap ikut terkekeh. kekehan yang sangat garing dan sangat jelas terlihat bahwa itu hanyalah sebuah_

kepalsuan.

Bersambung....

Senja.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang