1. Gadis Angkuh

749 55 15
                                    


"Rakaaaaa!!"

Pagi yang cerah seketika menjadi kelabu kala seorang gadis melengkingkan suaranya berteriak memanggil sebuah nama. Matanya liar mencari nama yang dipanggilnya di seluruh sudut ruangan. Tangannya mengepal erat dengan selembar kertas digenggamannya.

"Rakaa!!" teriaknya lagi.

"Kenapa sih Kak!" sahut seorang pemuda tampan yang mulai beranjak dewasa. Usianya mungkin sekitar 17 tahun. Tapi percayalah, ia lebih dewasa dari usia yang seharusnya. Tidak bar-bar seperti gadis yang memanggilnya.

Pemuda yang dipanggil Raka itu berjalan dengan santai menuju Kakaknya. "Kakak pikir ini hutan! Telingaku masih normal Kak." lanjutnya lagi.

"Apa yang kamu lakukan hah! Ini apa?!" Sang kakak melempar sebuah remasan kertas ke wajah adiknya.

"Kak!" bentak adiknya. "Aku tahu aku ini hanya adik tirimu. Tapi tak bisakah kau bersikap lebih sopan padaku hah?" jawab adiknya.

"Jelaskan kalau begitu!"

"Itu tiketmu pulang pergi ke Surabaya minggu depan." jawab adiknya tenang.

"Apa? Jangan bercanda kamu!" si kakak kembali meninggikan suaranya. "Tiket bus?" lanjutnya tak percaya.

"Iya bus. Kenapa?" Raka meninggalkan kakaknya dan mengambil duduk di depan meja makan. Sudah pukul delapan dan ia kelaparan. Mamanya sudah berangkat bekerja pagi-pagi sekali. Di hari Minggu? Raka menghembuskan nafasnya kasar.

"Kamu pikir berapa jarak Jakarta Surabaya hah?! Naik bus? Kamu mau kakakmu ini mati di sana? Itukan yang kamu inginkan?" Kakak Raka berjalan mendekatinya, gadis itu berteriak tepat di samping Raka. Tangannya dengan angkuh bertengger manis di pinggangnya. Matanya menyala-nyala ingin melahap hidup-hidup adiknya itu.

Raka mengambil piring yang tertutup di depannya. Tangannya dengan cekatan membalik piring keramik itu dengan sempurna, "Diamlah Kak! Makan! Aku lapar." katanya.

Kakaknya yang tak terima langsung mengambil alih piring di tangan Raka. Merampasnya dan menjauhkan dari jangkauan sang adik. "Diam katamu?!" bentaknya menahan emosi. Jangan sampai piring di depannya itu ia hancurkan berkeping-keping.

Selalu seperti itu, jika mereka berdua ditinggalkan di rumah berdua saja, maka dunia tak akan tenang. Ayah mereka yang ada di dalam kubur pun sudah gemas ingin bangkit dan melerai pertikaian kakak beradik itu. Namun sayang, ada malaikat yang selalu menjaga kubur ayah mereka.

"Berapa jam perjalanan menggunakan bus ke sana? Kau ingin membunuhku perlahan hah?! Kenapa tidak membelikanku tiket pesawat?!"

Brakk!

Kakak Raka menggebrak meja makan dengan kedua tangannya. Meja kokoh itu sedikit bergoyang, bahkan beberapa sendok yang berada di pinggir meja berjatuhan. Untung saja bukan piring yang jatuh.

"Ratika!" Kesabaran Raka sudah menipis. Jika ia sudah memanggil Kakaknya tanpa embel-embel di depannya lagi, berarti emosi mulai menguasainya. "Dimana otakmu hah!? Kau pikir berapa harga tiket pesawat ke sana? Kau punya uang?" Nada suaranya masih sama, masih meninggi saat ia membentak kakak tirinya itu.

"Tiket pesawat tidak sampai satu juta. Sialan!" Ratika tak mau kalah. Ia malah mengumpati adiknya yang ikut emosi karena ulahnya.

Raka tersenyum sinis. Senyum yang paling dibenci oleh Ratika. "Satu juta heh?" tanyanya mengejek. "Kau punya uang satu juta? Berikan padaku, aku pesankan sekarang juga." tantang Raka pada kakaknya.

Ratika diam. Dia bingung harus menjawab apa. Ratika punya uang sebanyak itu, tapi ia tak mau uang pribadinya digunakan untuk keperluan kuliah yang harusnya ditanggung oleh mamanya. "Kenapa kau minta padaku?" jawabnya datar. Berusaha menormalkan suaranya agar harga dirinya tak jatuh di depan pemuda ingusan itu. "Minta sama Mama, dia yang harusnya membiayai semua keperluan kuliahku." katanya lagi.

GerhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang