"Sudah siap semuanya, Sayang?" tanya Shinta lembut. Tangan rapuhnya mengusap kepala anak gadis satu-satunya.
"Sudah." jawab Ratika singkat. Gadis itu belum berubah sama sekali sejak seminggu lalu setelah mendapat kuliah kejam dari adiknya.
"Ya sudah, kamu diantar Raka ya ke bandara. Mama masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan." Seperti biasa, ini hari Minggu, dan Mamanya masih sibuk bekerja. Hanya saja hari ini Mamanya berangkat lebih siang. Dan satu lagi, Mamanya tidak tahu kalau anak perempuannya akan menempuh perjalanan menggunakan jalur darat. Raka mengancam kakaknya untuk bungkam. Semua demi kebaikan Mamanya kata Raka. Karena takut, Ratika hanya menurut saja.
Ratika hanya mengangguk. Sebenarnya ia belum berbaikan dengan Raka. Perang dingin masih berkobar diantara mereka. Ratika masih tak terima perlakuan dan hinaan yang diberikan Raka kepadanya.
Tentu saja mamanya tidak tahu. Kalau mamanya tahu, Mama pasti akan bersedih. Dan orang pertama yang akan mengayunkan pedangnya tinggi-tinggi dibarisan pertama jika melihat Shinta sedih atau terluka adalah Raka. Adik sialannya itu.
Ratika mendengkus membayangkannya. Peristiwa minggu lalu benar-benar mengerikan menurutnya. Ia tak mau lagi melihat kemarahan Raka. Cukup sekali saja. Adik tirinya benar-benar gila jika sedang mengamuk.
"Rakaaa!" teriak Shinta nemanggil anak lelakinya. Walaupun berteriak, tapi suaranya sangat lembut.
Raka segera turun memenuhi panggilan mamanya, "Iya Ma. Ada apa?" tanyanya dengan lembut. Raka tak pernah sekalipun membentak atau meninggikan suaranya di depan mama cantiknya. Ia selalu bersikap sopan dan sangat manis pada Shinta.
"Kakakmu sudah siap. Antar Kakakmu ke bandara ya, Mama masih banyak pekerjaan." pinta mamanya lembut.
"Iya, Ma." jawab Raka lembut juga. Ia sekilas melirik Kakaknya yang memasang wajah tak suka. "Mama istirahat saja di rumah, ini hari Minggu, Ma." tambah Raka.
"Iya, nanti Mama istirahat kalau pekerjaan Mama sudah selesai." Shinta bangun, membawa serta Ratika bangun dan mengantarkannya ke depan pintu. Raka mengekori di belakangnya dengan menyeret koper besar kakaknya.
"Hati-hati di jalan ya, Sayang," nasihat mamanya, "jangan lupa makan. Hubungi Mama kalau kamu sudah sampai." Shinta memeluk Ratika erat, seakaan anak gadisnya akan pergi jauh dan sangat lama. Padahal Ratika hanya akan tinggal tiga hari di sana.
Ratika hanya diam membalas pelukan Mamanya. Suasana hatinya masih belum membaik. Ia jarang sekali menggunakan angkutan umum untuk bepergian. Apalagi sendirian, dan ini sangat jauh.
"Raka, antar kakakmu ya," pesan Shinta lagi, "Jangan ngebut, hati-hati di jalan, Sayang." Shinta mengusap lembut lengan Raka.
"Iya Ma, Raka pergi dulu." pamit Raka pada Mamanya. Memberikan kecupan sayang di pipi bidadarinya.
Ratika yang melihatnya sangat muak. Ia merasa adiknya terlalu menyayangi Mamanya. Bagaimana bisa? Itu bukan Mamanya. Dia hanya Mama tirinya! Seperti biasa, hati jelek Ratika menggerutu.
Shinta membalas kecupan anaknya. Ratika semakin muak. Ia ingin muntah. Kemudian, Raka mengecup punggung tangan Mama cantiknya.
"Raka berangkat," pamitnya lagi.
Shinta mengangguk seraya melambaikan tangannya ke mobil tua yang mulai melaju. "Hati-hati kalian!" teriaknya.
.............
Hanya terdengar suara kendaraan dari luar selama perjalanan itu. Tak ada satupun dari mereka yang mau membuka suara. Bahkan radio pun enggan mengganggu keheningan mereka. Ratika memusatkan pandangannya ke samping jalan. Sedang Raka fokus pada kemudinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gerhana
General FictionSemua peristiwa naas ini berawal dari kesialannya saat berada di perjalanan, seorang gadis yang buta arah tersesat. Ditinggalkan bus yang ditumpanginya, sialnya lagi semua barang berharganya masih ada di sana. Ia ingin menangis, tapi malu. Teman sep...