5. Bagaimana Kalau

37 2 1
                                    

Mungkin, sudah dua jam lebih mereka berjalan. Kalau Ratika tidak salah menghitung. Awalnya, mereka hanya menyusuri jalanan aspal yang panas. Mereka terus berjalan di pinggir, menghindari kendaraan yang berlalu lalang dengan sangat cepat. Bahkan truk dan bus pun melaju sangat kencang, terkadang sampai terlihat miring seakan mau oleng. Ratika hanya mengikuti si galak berjalan. Lelaki itu sudah bertindak sebagai bos, dan semua mengikutinya.

Sekitar 30 menit yang lalu, pemimpin mereka memutuskan untuk memasuki hutan dan mencari jalan pintas. Teriknya matahari membuat mereka semakin lelah. Lelaki itu berpikir, jika mereka memasuki hutan, mungkin saja mereka akan menemukan sungai atau danau kecil dan bisa mimun dari sana. Namun, sampai kaki ratika rasanya mau patah, tidak setetes air pun mereka temukan.

"Aku capek!" teriak Ratika di belakang. "Mana air yang kau janjikan itu? Sepertinya kita malah tersesat lebih jauh. Kau ini benar tahu jalan atau tidak sih??" protes Ratika. Woah, seingatnya, Ratika tak pernah berjalan sejauh dan semelelahkan ini. Tulang-tulang di kakinya seakan rontok, berkonsolidasi ingin meninggalkan Ratika jika gadis itu tak mau mengistirahatkan mereka.

"Berisik!"

"Tapi aku benar-benar lelah. Kakiku sakit." rengek Ratika. Badannya sudah ia sandarkan sembarangan, karena kaki-kakinya sudah tak sanggup menopangnya lagi.

"Sepertinya kita memang harus istirahat sebentar." Morghan terlihat iba menyaksikan gadis angkuh yang sudah kehabisan tenaganya itu. "Kasihan dia." katanya lagi, ditujukan kepada pemimpin mereka.

"Iya, kita istirahat sebentar ya." timpal Lion.

"Dasar merepotkan!" geram lelaki galak itu. "Kalian tunggu di sini sebentar. Kau jaga mereka, Morghan."

"Kau mau kemana?" tanya Morghan. Sudah tiga tahun mereka berteman, tapi sampai sekarang pun, Morghan belum bisa menebak apa mau sahabatnya itu.

"Sebentar saja." jawabnya tanpa memberi tahu.

"Dasar!" gumam Ratika.

Lelaki itu pergi begitu saja, meninggalkan Morghan, Ratika dan Lion tentu saja. Tidak ada yang tahu kemana perginya lelaki itu. Ah, mungkin hanya Tuhan dan para malaikat yang tahu.

"Kira-kira, kemana dia pergi?" tanya Lion. Gadis pucat itu sudah ikut duduk di samping Ratika.

"Mana aku tahu. Kau dengar sendiri kan, tadi dia tidak memberitahuku!"

"Huhhh!" Kenapa lelaki bernama Morghan ini selalu membuat Lion kesal?

"Alaah! Palingan juga kebelet pipis." timpal Ratika. "Biarkan saja, biar dimakan harimau dia. Dasar Galak!"

"Jaga mulutmu itu, Gadis Angkuh!"

"Apaa!" tantang Ratika.

"Sudahlah, kalian ini! Jangan ribut sekarang."

"Dia yang mulai duluan."

"Kau yang mulai duluan!"

"Kau yang suka memancing emosi!"

"Kau yang tidak tahu berterima kasih."

"Ya ya, teruskan kalau begitu. Aku mau tidur saja." Lion lelah kali ini, Gadis itu, benar-benar merebahkan tubuhnya di atas tanah yang dipenuhi dedaunan kering. Kepalanya cukup pusing mendengarkan dua anak manusia ini terus berdebat.

Entahlah apa yang dipikirkan Lion beberapa jam yang lalu. Mengapa dirinya yang biasanya bebas tanpa arah, sekarang malah terjebak bersama orang-orang ini. Jujur saja, tempat ini bukan rumahnya. Kalau boleh dibilang, Lion tidak memiliki rumah. Dia hanya pernah sekali menetap agak lama di suatu tempat. Hmm... berapa tahun ya, mungkin lebih dari 20 tahun. Sisanya dia hanya bermain dan berlarian kesana-kemari. Mengganggu anak-anak manusia hingga mereka menumpahkan tangis dan teriakannya setiap petang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GerhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang