Chapter 1

6K 608 57
                                    


Aku lupa bagaimana rasanya jatuh cinta, dan masih sulit memahami konsep mencintai dan dicintai. Berusaha untuk tidak peduli, tetapi terkadang aku merasa kesepian setengah mati.

Enam bulan yang lalu, aku bertemu seorang lelaki di sebuah kelab. Segalanya terjadi begitu cepat. Seminggu kemudian kami sudah bercumbu dan nyaris bercinta di apartemennya. Dia memiliki segala yang didambakan perempuan. Tampan, mapan, jantan, dan memuaskan. Dari semua lelaki yang pernah mendekatiku, dia lah yang paling mendekati kata sempurna.

Aku sering mengakhiri hubungan secara sepihak hanya karena pasanganku memberikan tanggapan yang tak sesuai saat aku berpendapat tentang sesuatu. Aku juga pernah mencampakkan seseorang hanya karena dia mem-posting status norak dan foto dengan pose alay di media sosial. Dan aku pernah meninggalkan pasangan kencanku di bioskop hanya karena aku tak suka bagaimana cara dia tertawa. Ya, intinya, satu kekurangan yang kutemukan dalam diri seseorang bisa menggugurkan sepuluh kelebihan yang dimilikinya.

Lelaki itu bukannya tanpa cela. Setelah berkencan beberapa kali dengannya, aku menemukan cukup banyak kekurangannya. Tapi anehnya, aku masih bisa menolerir semua itu tanpa terkecuali.

"Mungkin kamu beneran jatuh cinta sama dia, Ra," ujar Nana, saat aku menceritakan semua itu kepadanya.

"Jatuh cinta pada seseorang yang baru kukenal satu bulan?"

"Terkadang, cinta nggak perlu waktu lama untuk tumbuh dan berkembang," jawabnya enteng. "Jarang-jarang, lho, kamu bisa menerima kekurangan seseorang dan bertahan sampai sejauh ini."

Setelah kuingat-ingat, satu bulan adalah waktu yang cukup lama bagiku menjalani kebersamaan dengan seorang lelaki tanpa mempermasalahkan apa pun tentang dirinya. Dan kurasa, aku masih ingin berada di sisinya satu bulan lagi, dua bulan lagi, dan mungkin selamanya. Jadi, benarkah aku jatuh cinta padanya? Benarkah aku sudah menemukan konsep mencintai dan dicintai dalam hubungan yang kami jalani?

"Kenapa, Sayang? Ada masalah apa?" Suatu pagi, lelaki itu bertanya, sesaat setelah dia membuka mata dan menemukanku tengah berbaring sambil menatap nanar langit-langit kamar.

Aku menatapnya. Apakah wajah lelaki ini yang ingin kulihat setiap pagi dengan rasa cinta yang tak pernah mati? Apakah tubuh kekar lelaki ini yang ingin selalu kupeluk dengan segenap afeksi dan berahi? Apakah aku benar-benar menginginkan dia menjadi bagian penting dalam hidupku? Apakah aku sungguh-sungguh siap menghabiskan sisa umurku bersamanya?

"Hei, ada apa?" Dia mendekatkan wajahnya. "Katakan saja."

Aku menggeleng, lalu menatap matanya dalam-dalam. Berusaha mencari jawaban dari pertanyaan, 'apakah ini benar-benar cinta atau sekadar ilusi perasaan belaka?'

Dia meraih tubuhku ke dalam pelukannya. Merekatkan tubuh kami yang sama-sama telanjang dan hanya diselimuti bedcover putih susu. Bibirnya mengecup dahiku penuh kasih. Jemarinya membelai rambutku dengan lembut. Seketika aku merasa cukup. Aku tak perlu jawaban dan janji manis dari bibirnya. Aku hanya butuh kehangatan tubuhnya di malam dan pagi yang dingin serta sentuhannya yang membuatku nyaman dan melayang setinggi mungkin.

Dan kurasa, dia pun membutuhkanku dalam kadar yang sama. Dia tak menginginkan hubungan kami berjalan ke mana-mana. Cukup di sini. Cukup seperti ini.

Dia tak pernah bercerita lebih dalam tentang dirinya dan selalu ada pagar yang sengaja dia ciptakan supaya aku tahu batasan. Aku tidak suka menjalani hubungan yang berat sebelah. Aku hanya akan memberi sebanyak yang kuterima dan tidak akan pernah meminta. Maka, aku tidak terlalu banyak berharap darinya. Persetan apakah ini cinta atau bukan selama kami masih bisa bertemu dan berbagi kehangatan.

Sweetly BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang