Chapter 2

4K 502 52
                                    

Waktu kecil, aku pernah bercita-cita menjadi guru SD berkat Bu Arini. Dia adalah wali kelasku di kelas lima. Selain cerdas, cantik, baik, dan bijaksana, dia juga terlihat sangat muda. Caranya menjelaskan pelajaran di kelas sangat menyenangkan dan mudah dipahami. Caranya berinteraksi dengan para siswa pun cukup luwes, hangat, namun tetap berwibawa. Setiap kali melihatnya, aku berkata pada diriku sendiri bahwa aku akan menjadi seperti dirinya saat dewasa nanti.

Kebersamaanku dengan Bu Arini rupanya terus berlanjut. Saat duduk di bangku SMP, aku berkenalan dengan Ariana Puspita yang akrab dengan panggilan Nana. Fakta bahwa dia adalah puteri sulung Bu Arini membuatku bahagia dan tanpa ragu menasbihkan Nana sebagai sahabat sepanjang masa. Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya. Nana dan Bu Arini punya kemiripan yang hampir sempurna.

Persahabatanku dengan Nana berlanjut hingga ke masa SMA. Di akhir kelas sepuluh, sesuatu yang buruk menimpa keluarganya. Ayah dan ibunya bercerai. Aku berusaha mengingkari pendengaranku sendiri waktu Nana bilang, ibunya yang kupuja setinggi langit itu berselingkuh dan menjadi penyebab utama perceraian itu. Hatiku terasa hancur. Tentu saja, hati Nana berkali-kali lipat jauh lebih hancur. Kami berdua berpelukan sambil menangis di kamarku. Kutarik kata-kataku soal buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Aku berharap Nana akan menjadi wanita dewasa yang setia.

Cita-citaku menjadi guru SD mulai memudar. Tidak tepat jika hal itu benar-benar disebabkan oleh kekecewaanku terhadap Bu Arini meskipun memang ada sedikit kecenderungan ke arah sana. Tapi ada beberapa sebab lain yang sedikit-banyak mengubah jalan hidupku. Setelah lulus SMA, aku mengambil kuliah ekonomi. Jelas, itu bukan kemauanku melainkan anjuran ibuku. Orangtua selalu tahu yang terbaik untuk anaknya. Begitu kata ibuku. Dan saat itu, aku memang sedang berada di posisi yang sulit. Menjadi anak yang patuh adalah satu-satunya jalan keluar bagi seorang anak yang tak punya cita-cita dan hampir putus asa dengan hidupnya.

Ternyata, kuliah ekonomi tidak buruk juga. Ijazahku menjadi tiket menuju sebuah posisi Auditor di salah satu the big four kantor akuntan publik terbesar di dunia yang bertempat di Jakarta. Ibuku tersenyum bangga saat pertama kali mengetahui kabar itu. Kupikir, dia bangga atas prestasi yang telah kuraih. Ternyata dia lebih bangga pada dirinya sendiri karena berhasil membuktikan kata-kata bahwa orangtua selalu tahu yang terbaik untuk anaknya.

Hampir empat tahun lamanya aku bekerja di sana. Pekerjaanku jauh dari kata membosankan dan lebih dekat dengan kata melelahkan. Terutama di musim-musim sibuk seperti akhir tahun dan awal tahun. Aku bisa bekerja ekstra gila dari pagi hingga dini hari dan besok paginya harus bekerja lagi. Di saat-saat tertentu, aku akan ditugaskan ke luar kota dan dihadapkan dengan bertumpuk-tumpuk data perusahaan yang berbeda-beda. Menghadapi klien yang tak sama. Orang-orang yang menyebalkan dan menyenangkan. Hidupku tak lebih dari semua itu. Awalnya aku berusaha menikmatinya. Hingga di satu titik, aku merasa benar-benar lelah.

Aku mengajukan cuti untuk mendampingi Nana di hari pernikahannya. Ya, persahabatan kami tak pernah berakhir meskipun terpisahkan jarak. Kami berdua percaya, sahabat itu seperti bintang. Terkadang tidak terlihat tetapi sejatinya selalu ada. Meski tidak selalu intens berkomunikasi, kami tetap saling memberi kabar dan senantiasa ada di saat kami butuh perhatian atau dukungan. Sejak mulai berpacaran dengan Wira hingga akhirnya membahas rencana pernikahan, Nana kerap berbagi cerita.

Pernikahan adalah salah satu momentum terbaik dalam kehidupan yang dinantikan setiap orang. Setelah dua kali berpacaran dan gagal, akhirnya Nana bertemu Wira. Dua tahun lamanya mereka berpacaran. Wira adalah sosok lelaki yang sangat ramah dan menyenangkan selain tentunya baik dan tampan. Dia adalah semacam malaikat yang diutus Tuhan untuk menjadi pendamping hidup seorang gadis cantik, baik hati, setia kawan, dan tentunya masih perawan. Aku turut berbahagia atas pencapaian tertinggi hubungan mereka.

Namun, lagi-lagi nasib buruk menimpa Nana-ku yang malang. Satu jam setelah pemberkatan, Wira terkena serangan jantung dan meninggal dunia dalam perjalanan ke rumah sakit. Nana sempat tak sadarkan diri, membuat suasana semakin kalut. Malam yang seharusnya dilalui Nana dalam kebahagiaan dan suka cita itu malah dijalaninya dengan air mata dan suasana haru di rumah duka.

Sweetly BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang