Chapter 5

2.8K 462 38
                                    


"Thanks ya, Dias." Kalimat itu baru bisa kuucapkan beberapa saat setelah mobil yang dikendarai Dias melaju meninggalkan kantor polisi. Saat memberikan keterangan kepada petugas mengenai penyerangan yang dilakukan dua orang pria asing itu, aku tak bisa berbicara dengan lancar karena masih terguncang. Selama itu, Dias berada di sisiku dan berusaha menenangkanku. Polisi juga meminta keterangan Dias sebagai saksi. "Kalau nggak ada kamu, entah gimana nasibku sekarang."

"Nggak usah dipikirin, Ra." Dias menatapku kemudian kembali menatap jalanan yang lengang di hari yang sudah hampir pagi. "Yang penting, sekarang kamu selamat dan kedua bajingan itu udah dapet balasan yang setimpal."

Aku mengangguk. Ya, selain terbukti bersalah atas penyerangan itu, mereka juga terancam hukuman atas penyalahgunaan narkoba. Polisi menemukan hampir satu gram sabu-sabu dan beberapa alat pengisap di mobil pria itu. Hasil tes urine mereka pun positif. Aku hanya menuntut mereka agar dihukum sesuai perbuatannya dan menolak biaya ganti rugi perbaikan mobilku. Sudah cukup. Aku tak mau berurusan lagi dengan mereka. Urusan perbaikan mobil akan kuserahkan kepada pihak asuransi.

"Kamu yakin nggak mau ke rumah sakit, Ra? Nggak ada yang terluka atau gimana?"

"Aku baik-baik aja." Mungkin jiwaku yang sedikit bermasalah sekarang. Bayangan kejadian beberapa jam yang lalu itu masih jelas dalam ingatanku dan rasa takutku belum sepenuhnya hilang. "Kayaknya, kamu yang lebih perlu ke rumah sakit."

"Ah, cuma memar dan lecet dikit," ujar Dias dengan enteng. "Sebentar lagi juga sembuh."

"Jangan sok jagoan deh!" Aku masih ingat, pria gempal itu sempat memukul kepala Dias saat Dias memeluk aku yang sedang menangis. Dias pun mengaduh, kemudian melepaskan pelukannya dan membalas pria gempal itu dua kali lipat lebih sadis. Dengan ketangkasannya, dia berhasil merebut stik baseball dari tangan si pria gempal. Dihantamkannya benda mengerikan itu ke kepala si pria gempal hingga tubuhnya terjungkal. Saat pria itu mengerang di atas aspal, Dias menghajarnya habis-habisan, dan baru berhenti setelah aku memintanya. Si pria gempal tak lagi berdaya, begitu juga dengan pria satunya lagi. Polisi datang sekitar lima belas menit setelah Dias menghubungi mereka.

"Ayo kita ke rumah sakit sekarang!" desakku. "Mana tahu kepalamu kenapa-kenapa."

Dias malah tertawa. "Beneran, Ra, aku nggak apa-apa. Ibuku bilang, aku ini anak yang paling keras kepala sedunia."

"Aku nggak mau tahu, pokoknya kita harus ke rumah sakit sekarang juga!"

"Nggak ada seorang pun yang boleh lebih keras kepala daripada aku."

Aku mendengus. "Kalau sampai kamu gegar otak, jangan salahin aku!"

Dias tertawa lagi. "Kamu tuh lucu ya kalau lagi ngomel."

Pujian macam apa itu? Mana ada orang yang sedang mengomel terlihat lucu? Namun, kenapa pujian aneh itu malah membuat wajahku memanas? Ini pasti gara-gara AC mobil Dias kurang dingin.

"Oh iya. Di kantor polisi tadi, kamu bilang kalau kamu kebetulan lewat jalan sepi itu dan lihat ada dua mobil berhenti di tengah jalan." Aku berusaha mengalihkan topik pembicaraan. "Memangnya, kamu tinggal di daerah situ?"

"Errr... sebenernya, itu antara kebetulan dan bukan kebetulan."

"Maksud kamu?"

"Jadi, gini. Setelah kamu dan Nana pamit pulang, aku sempat ngejar kamu. Tadinya, aku mau nanya kalian pulang ke mana dan naik apa. Ya siapa tahu kamu butuh tumpangan. Ternyata, kamu bawa mobil sendiri. Ya udah, aku balik lagi ke dalam. Tapi sebelumnya, aku sempat lihat ada dua orang cowok yang lagi merhatiin kamu sambil bisik-bisik, terus masuk mobil. Saat itu aku nggak mikir yang aneh-aneh."

Sweetly BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang