Figura itu, dengan bingkai kayu lapuk bersemayam dalam ruangan kotor penuh debu. Menyimpan kenangan di balik satu bidikan gambar, mendefinisikan tiap kejadian terjadi, menangkap segelak tawa alami yang terkuar diantara mereka.
Tiga objek sedang tertawa riang tanpa beban, tiada jarak memisahkan. Kedekatan yang harmonis walau satu diantara mereka bukanlah bersaudara.
Ia tersenyum memandang kedua bocah manis lewat gambar lusuh itu. Tiap foto berbeda menunjukan transformasi mereka kini. Telah berubah menjadi tampan juga cantik jelita.Setiap berfoto, dirinya selalu diapit. Sisi kanan adalah kakaknya sedangkan samping kirinya merupakan sahabat sang kakak. Selalu begitu takkan berubah.
Mereka bersama sejak ia balita sementara kakaknya mungkin sudah bersekolah dasar, di panti asuhan yang sama pula.
Kehilangan orangtua akibat kecelakaan maut dan berimbas pada menelan habis kebahagian sang kakak beradik. Disisi lain si tertua tertekan menjalani hari demi hari tanpa kasih sayang ibunda dan ayah tercinta. Belum lagi adik perempuannya tidak bisa diajak berbagi kesedihan sebab masih terlalu dini untuk mengerti tentang dunia.
Beruntung tak lama, hadir pemuda kecil yang lebih tua darinya menemani mereka. Dan alasan dia sampai disini karena dibuang oleh sang orangtua yang tak bertanggung jawab. Sungguh malang.Mereka keluar dari panti asuhan setelah kedua dari lelaki tersebut mendapat pekerjaan sementara sang adik yang telah duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Mulai menyewa rumah kecil, saling berbagi kebutuhan sandang pangan. Dan tepatlah pada sekarang berhasil sukses mapan berkat kerja keras masing masing.
Rambut semerbak kelabu tergerai panjang membiarkan tersibak angin malam. Pikirannya fokus pada tumpukan klise lusuh yang sempat diambil dalam gudang rumahnya. Menggenggam erat ransel besar seraya menangis terisak. Ia bimbang tak menentu, tiada tempat untuk berpijak. Jangankan begitu, sejak kemarin saja lupa mengganti seragamnya. Sehingga berpindah kesana kemari menggunakan fasilitas umum. Gadis tersebut sudah memikirkan ke depannya, dan tetap berujung final bahwa ia enggan pulang.
Duduk beralaskan rerumputan tersapu dingin yang menusuk kulit. Menekuk lututnya sampai menyentuh dada, meringkuk mencari kehangatan. Sebelum lengan kokoh itu datang, memeluknya dari belakang seakan menjadi pelindung kejamnya cuaca.Ia menoleh, tepat di sampingnya wajah pemuda tampan menatapnya rindu lewat sepasang iris hazel terang, "Taehyung?" yang terpanggil melempar senyuman lembut.
"Kalian bertengkar lagi? Kakakmu hampir setengah gila saat mengetahui adiknya menghilang seharian penuh..."Hwayoung merunduk sendu. Segala perbuatannya pasti memiliki alasan tertentu, namun ini bukan waktu yang tepat untuk berterus terang. Walau dengan kekasihnya sendiri. Biarkan saja, sementara menyimpan bebannya sendirian.
"Taehyung, aku ingin menginap di apartemenmu..."
*****
Lorong gelap berdengung senyap, aroma pekat antiseptik menyeruak disana. Terlebih lagi di perbatasan jendela kaca, terdapat sosok wanita lemah dengan berbagai alat medis melekat pada tubuh kurusnya.
Tabung oksigen bergerak mengempis, suara dentingan detak jantung, percikan uap di dalam ruangan serba putih. Selama setahun penuh, Jimin muak. Menunggu dan kembali menunggu. Berharap kabar baik datang, dan kenyataannya? Diagnosa dokter selalu sama. Horizontal, mendatar. Perkembangan yang tak sinkron.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Was Mean For You
FanfictionBagaimana jadinya seseorang yang sudah kau anggap sebagai kakak kandung sendiri kini harus menikahimu? Hwayoung bisa gila. Hanya karena tragedi malam itu dimana Yoongi masuk ke kamarnya dalam kondisi mabuk berat akibat pernikahannya dibatalkan, calo...