Kertas lipat ternodai untaian kalimat harapan, sebuah boneka besar terpampang jelas di atas meja nakas yang hanya berisi berbagai jenis obat antibiotik cair sebagai pasokan untuk raga tersebut bertahan hidup; sembuh secepatnya. Tidak ada makanan berbentuk padat, semuanya sama. Seperti air bening kemudian disuntikkan lewat syaraf peredaran darah.
Berdominasi serba putih pucat, terlebih dengan papan bergambar garis horizontal yang kian menurun tiga bulan terakhir. Itu menyakitkan, salah satu tabel dari dokter yang ia benci. Dan dengan nama yang tertera disana, Lee Dongyoo.
Terlalu senang kah wanita tersebut terlelap? Menghela napas lewat setabung oksigen buatan. Netranya masih saja terpejam meski Jimin membisikan sesuatu di telinganya. Seperti enggan terbangun karenanya.
Ia jatuh terperosok dalam jurang penyesalan, tertusuk bersama tajamnya masa lalu, dan terjebak diantara lembah kesalahan. Obsidian kelamnya kembali memuntahkan bulir kesedihan mengalir membanjiri seluruh permukaan wajah tiap kali melihat sang kekasih terbujur diam menyesak keheningan.
Jimin tidak menyerah. Tidak akan pernah.
Setahun berlalu ditemani sepi. Ia memang tersenyum kepada dunia, seolah itu hanyalah topeng di balik wajah aslinya, murung akibat separuh dari jiwanya hampa. Tak masalah jika berarti menunggu dua, tiga tahun atau sampai menutup mata pun, demi cintanya.
Jimin akan selalu setia menemani pujaan hatinya sampai detik terakhir ajal menjemput. Tidak ingin siapa pun tuk mengganti seseorang yang telah singgah lama dalam hatinya.
Dia merupakan awal dan terakhir, dambaan hidup seorang Park Jimin; Lee Dongyoo.
Lantas mengapa? Lagi dan lagi kata maaf terlontarkan bak mantra di setiap sudut bibir lelaki tersebut?
Memorinya menelaah ke belakang, tepat dikala wanita itu masih membuka matanya melihat bumi. Tanpa peralatan apa pun, mereguk udara dengan paru paru sehatnya. Bukan berpakaian piyama berwarna hijau tak berganti, melainkan gaun berbahan jatuh memperlihatkan lekuk tubuh indah. Kulitnya putih bersinar, bibir yang merona alami, tidak pucat.
Paras anggun semakin terpancar tatkala ia berinteraksi bersama anak kecil. Kasih sayang tulus terhadap para muridnya menjadikan Dongyoo lebih dewasa. Benar, ia seorang guru taman kanak-kanak. Mengajar dan bermain, tiada lagi aktivitas lain. Pengecualian untuk bermesraan dengan tunangannya, ada waktu tertentu.
Jimin menyukai segala kesederhanaan yang terpatri pada diri Dongyoo. Sebab cinta adalah sederhana dan melakukan apa saja ia rela, termasuk mempersunting sang kekasih sebagai pendamping hidupnya yang hakiki.
Namun semua ada batasnya. Kesempurnaan milik Tuhan semata, bukan manusia.
Dibalik hubungan mereka yang terkesan harmonis, kadangkala terselip perbedaan pendapat diantara keduanya. Tentu saja, manis asam kehidupan akan terjadi dan terus begitu bagaikan roda berputar. Jika enggan mengalami kesulitan, silahkan mati.
Dongyoo merasa ada perubahan signifikan terjadi pada Jimin. Entahlah, ia seperti menjauh hari demi hari. Jarang berkencan seperti biasanya. Bahkan jadwal tuk menjemputnya seusai kerja pun, terlupakan. Satu alasannya, dia sibuk. Terlalu menggilai pekerjaannya sampai Dongyoo tersisihkan. Mungkin Jimin lebih senang berlama-lama bersama dokumen menumpuk ketimbang dirinya. Ditambah tanggal merah pun Jimin tidak beristirahat, lelaki itu menghabiskan puluhan jam dengan menari. Salah satu pekerjaan sampingan sebagai penari latar.
Ia seperti diselingkuhi waktu.
Dongyoo jenuh, terlalu merindu bila melampiaskannya lewat pesan singkat. Sering berkunjung ke rumahnya dan selalu adik perempuannya atau sahabatnya ia temui hingga bosan. Apa, Jimin berpindah ke lain hati? Tidak mungkin. Jimin sangat menggilai Dongyoo. Benarkah?
![](https://img.wattpad.com/cover/118874342-288-k416973.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
I Was Mean For You
ФанфикBagaimana jadinya seseorang yang sudah kau anggap sebagai kakak kandung sendiri kini harus menikahimu? Hwayoung bisa gila. Hanya karena tragedi malam itu dimana Yoongi masuk ke kamarnya dalam kondisi mabuk berat akibat pernikahannya dibatalkan, calo...